Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menilai gencatan senjata yang disepakati Israel dan militan Jihad Islam cenderung 'rapuh'. PBB menyebut 'siklus kekerasan' di Jalur Gaza hanya akan berhenti saat solusi dua negara terwujud, dengan negara Palestina yang merdeka hidup berdampingan dengan Israel.
Seperti dilansir Associated Press, Rabu (10/8/2022), komentar itu disampaikan oleh Utusan khusus PBB untuk Timur Tengah, Tor Wennesland, saat berbicara dalam pertempuran darurat Dewan Keamanan PBB membahas kekerasan terbaru di Jalur Gaza pada Senin (8/8) waktu setempat.
Dalam pertemuan itu, Wennesland menyerukan kepada para pemimpin Israel dan Palestina, juga komunitas internasional, untuk 'memperkuat upaya-upaya diplomatik untuk kembali ke negosiasi yang berarti menuju solusi dua negara yang layak'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gencatan senjata yang dimediasi Mesir mulai berlaku sejak Minggu (7/8) tengah malam waktu setempat, yang mengakhiri kekerasan terbaru antara Israel dan militan Jihad Islam di Jalur Gaza. Israel sudah empat kali berperang dengan Hamas, yang menguasai Jalur Gaza, sejak menarik diri dari wilayah itu tahun 2005 lalu.
Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, sedikitnya 46 warga Palestina, termasuk 15 anak dan empat wanita, tewas dalam konflik terbaru yang berlangsung di Jalur Gaza selama tiga hari. Sekitar 311 orang lainnya mengalami luka-luka dalam konflik itu.
Konflik itu juga memakan korban dari pihak Israel, dengan sekitar 70 warga Israel dilaporkan mengalami luka-luka akibat serangan-serangan dari Jalur Gaza.
Simak video 'Gencatan Senjata Palestina-Israel, Kelompok Jihad Islam Palestina Kini Lebih Kuat':
Wennesland mengecam serangan roket membabi-buta oleh militan Palestina yang ditargetkan ke area-area berpenduduk di Israel. Dia mengakui kekhawatiran keamanan Israel, namun menekankan penggunaan kekuatan apapun 'harus proporsional' dengan 'semua langkah yang layak' diambil demi menghindari korban sipil.
Lebih lanjut disebutkan Wennesland bahwa gencatan senjata yang dimediasi Mesir 'membantu mencegah pecahnya perang skala penuh'.
"Dimulainya kembali permusuhan hanya akan memiliki konsekuensi yang menghancurkan bagi warga Palestina dan Israel, dan membuat kemajuan politik sulit dipahami," ucap Wennesland memperingatkan.