Ada hal menarik yang terjadi di acara G20 di Bali. Sebab, Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat Antony Blinken dan Menteri Luar Negeri China Wang Yi berdialog tentang harapan kerja sama.
Percakapan antara Blinken dan Wang Yi adalah peristiwa langka. Pembicaraan mereka terjadi di Bali, Sabtu (9/7/2022).
Apa saja yang dibicarakan keduanya di Bali?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam hubungan yang kompleks dan konsekuensial seperti hubungan antara Amerika Serikat dan China, ada banyak hal yang perlu dibicarakan," kata Blinken saat dia dan Wang berpose di depan bendera AS dan China di sebuah hotel resor di pulau Bali.
"Kami sangat menantikan percakapan yang produktif dan konstruktif," ujar Blinken seperti dilansir dari kantor berita AFP.
Wang mengatakan bahwa Presiden Xi Jinping yakin akan kerja sama serta "saling menghormati" antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia.
"China dan Amerika Serikat adalah dua negara besar, jadi kedua negara perlu menjaga kontak normal," kata Wang.
"Pada saat yang sama, kita perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa hubungan ini akan terus bergerak maju di jalur yang benar," lanjut Wang.
Hubungan AS-China
Jika menarik ke belakang, pada 22 Juni 2022 lalu, AS melakukan larangan impor barang yang diproduksi dari wilayah Xinjiang, China. Alasannya, karena adanya genosida di sana.
Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan (CBP) AS telah mulai menegakkan Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa di Uighur, yang ditandatangani Presiden Joe Biden menjadi pada bulan Desember lalu.
CBP menyatakan pihaknya siap untuk menerapkan UU yang menganggap semua barang dari Xinjiang diproduksi dengan cara kerja paksa, kecuali dapat pihak importir dapat menunjukkan bukti sebaliknya.
Pemerintah China dilaporkan mendirikan kamp-kamp tahanan untuk warga Uighur dan kelompok Muslim lainnya.
CPB menambahkan para importir barang dari Xinjiang akan diminta untuk menunjukkan bukti kuat untuk mendapatkan pengecualian.
"Kami telah menggalang negara-negara sekutu dan mitra untuk membuat rantai pasokan global terbebas dari praktek kerja paksa, untuk berbicara menentang kekejaman di Xinjiang, dan untuk bersama kami mendesak Pemerintah RRC segera mengakhiri kekejaman dan pelanggaran HAM," kata Blinken dalam sebuah pernyataan dilansir ABC Australia.
"Bersama dengan badan-badan pemerintahan, kami akan terus melibatkan perusahaan untuk mengingatkan mereka tentang kewajiban hukum AS ini," katanya.
Pada tahun lalu, Komite Senat Australia juga menyerukan agar Undang-Undang Kepabeanan diamandemen "untuk melarang impor barang apa pun yang seluruhnya atau sebagian dibuat dengan cara kerja paksa".
Respons China Saat Itu
Pemerintah China menyangkal adanya pelanggaran HAM di Xinjiang, produsen kapas utama yang juga memasok sebagian besar panel surya ke berbagai negara.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin mengatakan bahwa klaim adanya kerja paksa di Xinjiang adalah "kebohongan besar yang dibuat oleh kelompok-kelompok anti-China."
"Dengan adanya UU seperti ini, Amerika Serikat justru berusaha menciptakan pengangguran paksa di Xinjiang dan mendorong negara lain untuk menjauh dari China," kata Wang.
Beijing awalnya menyangkal keberadaan kamp tahanan, tapi kemudian mengakui telah mendirikan "pusat pelatihan kejuruan" yang diperlukan untuk mengekang apa yang dikatakannya sebagai terorisme, separatisme, dan radikalisme agama di Xinjiang.
Pekan lalu, CBP mengeluarkan daftar entitas Xinjiang yang diduga menggunakan cara kerja paksa, yang mencakup perusahaan tekstil, silikon poli panel surya, dan elektronik.
CPB bahkan mengancam akan melarang impor dari negara lain jika rantai pasokan produk mereka terkait dengan produk atau bahan dari Xinjiang.
AS, Inggris dan negara-negara lain telah menyerukan Organisasi Perburuhan Internasional PBB membentuk misi untuk menyelidiki dugaan pelanggaran praktek perburuhan di Xinjiang.