Utusan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyebut 2.000 rumah hancur akibat gempa bumi dahsyat yang mengguncang wilayah Afghanistan. Kurangnya peralatan mekanis dilaporkan menghambat upaya pencarian para korban selamat.
Seperti dilansir AFP, Kamis (23/6/2022), gempa bumi berkekuatan Magnitudo 6,1 menurut Pusat Seismologi Mediterania Eropa (EMSC) -- menurut Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) gempa ini berkekuatan M 5,9 -- mengguncang area perbatasan terpencil Afghanistan pada Rabu (22/6) waktu setempat.
Gempa dahsyat ini dilaporkan menewaskan sedikitnya 1.000 orang dan melukai ratusan orang lainnya. Jumlah korban jiwa diperkirakan masih akan terus bertambah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami meyakini bahwa nyaris 2.000 rumah hancur," ucap koordinator kemanusiaan PBB untuk Afghanistan, Ramiz Alakbarov, kepada wartawan setempat.
Memberikan penjelasan kepada wartawan di markas PBB di New York, Amerika Serikat (AS), via video-link dari Kabul, Alakbarov menyatakan jumlah orang yang kehilangan tempat tinggal akibat gempa ini diperkirakan akan tinggi.
"Ukuran rata-rata sebuah keluarga Afghanistan adalah setidaknya tujuh, delapan orang," sebut Alakbarov, sembari menekankan bahwa terkadang beberapa keluarga tinggal bersama dalam satu rumah.
Gempa mematikan ini mengguncang keras di area timur Afghanistan, di mana warganya telah menjalani kehidupan yang sulit di tengah bencana kemanusiaan yang diperburuk oleh pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban pada Agustus 2021.
Simak Video 'Jumlah Korban Tewas Gempa Afghanistan Capai 1.000 Orang':
Alakbarov menyatakan 'otoritas de-facto' Afghanistan mengerahkan lebih dari 50 ambulans dan empat atau lima helikopter ke Provinsi Paktika yang terdampak gempa paling parah, juga memberikan bantuan uang yang tidak disebut jumlahnya kepada keluarga-keluarga korban tewas.
Namun dia menyebut kurangnya mesin atau alat penggali mempengaruhi upaya pencarian dan penyelamatan.
"Sebagai PBB, tim kami tidak memiliki peralatan spesifik untuk mengevakuasi orang-orang dari balik reruntuhan. Ini sebagian besar harus bergantung pada otoritas de-facto, yang juga memiliki batasan tertentu dalam hal itu," sebut Alakbarov.
Bahkan sebelum Taliban berkuasa kembali, tim respons darurat Afghanistan diketahui kesulitan dalam menangani bencana alam yang kerap melanda negara itu. Namun, dengan hanya sejumlah pesawat dan helikopter yang layak terbang sejak Taliban berkuasa, respons segera terhadap bencana semakin terbatas.