Pasukan keamanan Sudan membunuh seorang warga sipil yang berdemonstrasi anti-kudeta militer. Tewasnya korban itu menjadikan jumlah yang tewas sejak kudeta militer tahun lalu menjadi sedikitnya 79 orang.
"Seorang pengunjuk rasa berusia 27 tahun tewas di Khartoum setelah menderita luka di dada oleh pasukan kudeta," kata Komite Pusat Dokter Sudan dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir dari AFP, Senin (31/1/2022).
Aktivis pro-demokrasi telah meningkatkan seruan protes untuk memulihkan transisi ke pemerintahan sipil, menyusul pengambilalihan militer pada 25 Oktober 2021 yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan. Menurut para saksi, demonstrasi pada Minggu (30/1) terjadi di ibu kota Khartoum, serta di Omdurman, Gedaref, dan kota-kota utara Atbara dan Dongola.
Tembakan Gas Air Mata
Pihak berwenang Sudan memperingatkan pengunjuk rasa agar tidak menuju pusat kota Khartoum. Pasukan keamanan Sudan pun menutup jalan-jalan menuju istana presiden.
Tetapi pengunjuk rasa di ibu kota berkumpul dalam jumlah besar. Saat pedemo menuju istana, polisi menembakkan gas air mata ke arah massa yang mendekat.
Beberapa pengunjuk rasa terlihat menderita kesulitan bernapas karena tembakan gas air mata dan pendarahan karena terluka.
Pihak berwenang Sudan telah berulang kali membantah menggunakan peluru tajam terhadap demonstran. Selain itu, mereka bersikeras sejumlah personel keamanan telah terluka selama protes. Bahkan mereka mengklaim seorang jenderal polisi tewas ditikam saat kerusuhan awal bulan ini.
Demonstrasi Bukan Akhir
Asosiasi Profesional Sudan, sebuah kelompok yang berperan dalam mengorganisir protes anti-Bashir dan terakhir demonstrasi anti-kudeta, bersumpah bahwa demonstrasi itu bukan akhir.
"Kami tidak akan meninggalkan jalan-jalan sampai jatuhnya rezim kudeta, mencapai negara demokratis, dan meminta pertanggungjawaban semua pembunuh dan mereka yang melakukan kejahatan terhadap rakyat," tambah pernyataan itu.
Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang baru-baru ini meluncurkan pembicaraan antar-faksi dalam upaya untuk menyelesaikan krisis pasca-kudeta, telah memperingatkan pihak berwenang agar tidak menggunakan kekuatan untuk menghentikan protes politik.
"Pertemuan damai dan kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang harus dilindungi," kata misi PBB di Sudan menjelang protes, mendesak pihak berwenang untuk membiarkan demonstrasi berjalan tanpa kekerasan.
Biro Urusan Afrika Departemen Luar Negeri AS mengatakan para pemimpin militer Sudan telah berkomitmen untuk berdialog menyelesaikan krisis selama kunjungan diplomat senior AS ke Khartoum pada bulan ini.
"Namun tindakan mereka-lebih banyak kekerasan terhadap pengunjuk rasa, penahanan aktivis masyarakat sipil-menceritakan kisah yang berbeda, dan akan memiliki konsekuensi," katanya.
(fas/fas)