Pemerintah Amerika Serikat (AS) kembali melontarkan seruan untuk menerapkan embargo senjata terhadap junta militer Myanmar. Seruan itu disampaikan setelah pembantaian puluhan warga sipil pada malam Natal, yang diduga didalangi oleh tentara junta militer Myanmar.
"Menargetkan orang-orang tak bersalah dan pelaku kemanusiaan tidak bisa diterima, dan kekejaman militer yang meluas terhadap rakyat Burma (Myanmar) menggarisbawahi urgensi meminta pertanggungjawaban anggotanya," ujar Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, seperti dilansir AFP, Rabu (29/12/2021).
"Komunitas internasional harus berbuat lebih banyak untuk memajukan tujuan ini dan mencegah terulangnya kekejaman di Burma, termasuk dengan mengakhiri penjualan senjata dan penggunaan dual-use kepada militer," katanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Milisi anti-junta yang disebut Pasukan Pertahanan Rakyat, pada Jumat (24/12) lalu, menemukan lebih dari 30 jenazah hangus terbakar, termasuk wanita dan anak-anak, di ruas jalan raya di wilayah Kayah, di mana pemberontak pro-demokrasi bertempur melawan militer Myanmar.
Pada Selasa (28/12) waktu setempat, organisasi kemanusiaan untuk anak, Save the Children, mengonfirmasi dua stafnya ikut tewas dalam pembantaian di Kayah.
Myanmar jatuh ke dalam kekacauan sejak kudeta pada Februari lalu, dengan menurut kelompok pemantau lokal, lebih dari 1.300 orang tewas dalam operasi militer.
Simak video 'Seorang Remaja Putri di AS Tewas Terkena Peluru Nyasar':
Otoritas AS telah menjatuhkan serangkaian sanksi terhadap pemimpin junta militer Myanmar, dan seperti negara-negara Barat lainnya telah sejak lama membatasi persenjataan untuk militer Myanmar -- yang menghadapi tuduhan kejahatan kemanusiaan terhadap etnis minoritas Rohingya.
Pada Juni lalu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencegah pengiriman senjata untuk Myanmar, namun langkah itu hanyalah simbolis karena tidak ditindaklanjuti oleh Dewan Keamanan PBB yang lebih berpengaruh.
China dan Rusia yang memiliki hak veto dalam Dewan Keamanan PBB, juga India merupakan penyedia senjata utama untuk Myanmar.