Singapura -
Otoritas Singapura mengklaim berhasil menjaga angka kematian akibat virus Corona (COVID-19) di wilayahnya 'sangat rendah'. Angka kematian Corona yang mencapai 0,2 persen tergolong lebih rendah jika dibandingkan 3 persen atau lebih di negara-negara lainnya yang mengalami lonjakan kasus sebelum vaksinasi.
Seperti dilansir Channel News Asia, Selasa (2/11/2021), Menteri Senior Negara untuk Kesehatan Singapura, Dr Janil Puthucheary, dalam pernyataan di hadapan parlemen menyebut angka kematian 0,2 persen 'sebanding dengan pneumonia'.
"Tapi itu berarti bahwa seiring waktu, jumlah absolut kematian akibat COVID-19 akan naik meskipun ada perawatan medis terbaik, dan kita bisa mendapati 2.000 kematian per tahun. Sebagian besar dari mereka adalah orang lanjut usia (lansia) dan sudah tidak sehat," jelas Dr Puthucheary.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai perbandingan, imbuh Dr Puthucheary, sekitar 4.000 pasien meninggal akibat influenza, pneumonia virus dan penyakit pernapasan lainnya setiap tahun.
Dia menyebut inilah mengapa pemerintah Singapura tetap menekankan pentingnya vaksinasi dan suntikan booster.
"Kita harus memastikan bahwa setiap orang yang terinfeksi COVID-19 akan menerima perawatan medis yang layak oleh tenaga medis dan sistem rumah sakit, dan diberi kesempatan terbaik untuk melawan penyakit ini," ujar Dr Puthucheary.
Pada Minggu (31/10) waktu setempat, Singapura mencatat 407 kematian Corona -- 395 orang meninggal di rumah sakit, delapan lainnya meninggal di rumah dan empat lainnya di fasilitas perawatan.
Simak video 'Covid-19 Menggila, Singapura Alami Krisis Nakes':
[Gambas:Video 20detik]
Dr Puthucheary menekankan bahwa angka kematian meningkat dalam dua bulan terakhir karena jumlah kasus keseluruhan juga meningkat. Namun, lanjutnya, Singapura berhasil menjaga angka kematian 'sangat rendah', dengan 99 persen kasus Corona memiliki gejala ringan atau tanpa gejala karena tingginya vaksinasi.
Warga lansia yang belum divaksinasi dan memiliki penyakit bawaan, sebut Dr Puthucheary, memiliki 'risiko yang jauh lebih besar' untuk terkena penyakit parah dan berujung kematian.
"Mendekati 95 persen dari mereka yang meninggal dalam enam bulan terakhir merupakan lansia berusia 60 tahun ke atas. Sekitar 72 persen dari semua kasus yang meninggal belum divaksinasi sebelumnya," tutur Dr Puthucheary.
"Nyaris dari 26 persen sisanya yang telah divaksinasi sepenuhnya menderia penyakit bawaan seperti tekanan darah tinggi, diabetes, kanker dan penyakit jantung, paru-paru atau ginjal. Penyakit bawaan menambah risiko, bahkan jika kondisinya terkontrol dengan baik sebelum pasien menghadapi COVID-19, khususnya jika pasien berusia lanjut," imbuhnya.
Lebih lanjut, Dr Puthucheary menyatakan sistem layanan kesehatan di Singapura saat ini 'tertekan, tapi belum kewalahan'. Situasi ini disebut berbeda dengan situasi tahun lalu saat banyak negara mengalami 'kematian berlebih' dan pasien-pasien terpaksa harus ditolak rumah sakit.
Meskipun tengah berupaya untuk hidup dengan COVID-19, Dr Puthucheary memperingatkan bahwa Singapura 'tidak bisa begitu saja membuka diri' dan berisiko mengalami lonjakan kasus Corona.
"Kita berupaya mencapai titik di mana kombinasi angka vaksinasi tinggi, suntikan booster dan bahkan lebih banyak lagi dari infeksi ringan yang berarti bahwa COVID-19 tidak lagi menyebar sebagai epidemi di Singapura. Dan kita berusaha sampai ke sana tanpa kematian berlebih," ucapnya.
"Dengan kata lain, meskipun kita akan mendapati kematian akibat COVID-19, kita tidak akan lagi melihat lebih banyak kematian daripada yang kita dapati pada tahun normal non-COVID. Hampir setiap negara lainnya yang telah tiba di tujuan itu telah membayar harga tinggi dengan nyawa," tandas Dr Puthucheary.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini