Myanmar tengah dilanda krisis ekonomi berkelanjutan yang disebabkan oleh 'faktor-faktor luar' dan dua gelombang virus Corona (COVID-19). Namun, junta militer yang kini berkuasa di Myanmar menegaskan akan bertanggung jawab penuh, dan berupaya mengatasi krisis yang membuat rakyat menderita.
Seperti dilansir Reuters, Rabu (6/10/2021), penegasan itu disampaikan setelah mata uang Kyat merosot ke level terendah pekan lalu. Juru bicara junta militer Myanmar, Zaw Min Tun, menyatakan bahwa bank sentral Myanmar gagal memenuhi permintaan lokal untuk dolar Amerika.
Mata uang Myanmar telah kehilangan lebih dari 60 persen nilainya sejak awal September lalu, yang membuat harga makanan dan bahan bakar melonjak naik di tengah perekonomian yang merosot sejak kudeta militer pada 1 Februari lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemerintah tengah melakukan yang terbaik untuk menyelesaikan situasi ini sebaik mungkin," tegas Zaw dalam konferensi pers pada Kamis (30/9) lalu.
"Karena ini terjadi di bawah pemerintahan ini, maka pemerintahan saat ini harus bertanggung jawab," imbuhnya.
Banyak toko emas dan tempat penukaran uang yang tutup di Myanmar akibat kekacauan usai kudeta. Sementara Kyat yang merosot menjadi pembahasan hangat di media sosial, dengan beberapa netizen memposting foto-foto warga saat panic-buying bahan bakar atau pom bensin yang tutup akibat kurang pasokan.
Naiknya harga barang dan bahan bakar memberikan tantangan besar bagi pemerintahan militer sebelumnya di Myanmar, dengan harga gas untuk memasak menjadi salah satu pemicu aksi Revolusi Saffron yang dipimpin biksu tahun 2007 lalu.
Dalam pernyataannya, Zaw menyebut bahwa perekonomian Myanmar memburuk akibat faktor-faktor luar dan pandemi Corona, namun tidak menjelaskan lebih lanjut apa saja faktor itu.
"Kami memiliki tanggung jawab untuk membangunnya kembali," ucap Zaw merujuk pada perekonomian Myanmar.
Sebelumnya, BBC melaporkan bahwa warga miskin Myanmar dihantui kelaparan di tengah ekonomi yang anjlok drastis dihantam ketidakstabilan politik dan pembatasan akibat COVID-19. Selain itu, sistem perbankan juga berada di ambang kehancuran.
"Saya ikut antrean untuk menerima bubur dari kelompok penyantun. Saya menunggu lebih dari setengah jam tapi habis sebelum giliran saya," kata Ma Wai seraya berlinang air mata seperti diberitakan BBC.
"Saya pulang dengan tangan kosong. Saya merasa sangat iba dengan putri saya yang berusia empat tahun," tuturnya.
Bank Dunia memprediksi perekonomian Myanmar akan merosot 18 persen tahun ini dan Myanmar akan mengalami kontraksi terbesar untuk lapangan pekerjaan di kawasan Asia Tenggara.