Sebelas pria yang dituduh menculik dan memperkosa seorang remaja putri Maroko, masing-masing dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Kasus pemerkosaan ini telah memicu kemarahan nasional.
Seperti diberitakan kantor berita AFP, Kamis (23/9/2021), Khadija Okkarou, yang saat itu berusia 17 tahun, mengungkapkan tentang pelecehan tersebut dalam sebuah video yang diposting online pada tahun 2018. Itu adalah langkah yang langka di negara Afrika Utara yang konservatif tersebut.
Remaja putri itu mengatakan anggota-anggota "geng berbahaya" telah menculik dan menyanderanya selama dua bulan, memperkosa dan menyiksanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Video itu juga menunjukkan bekas luka mengerikan yang diduga dari luka bakar rokok dan tato yang diukir di beberapa bagian tubuhnya.
Pengacara Okkarou, Ibrahim Hachane, mengatakan kepada AFP, bahwa pengadilan di pusat kota Beni Mellal menyatakan para terdakwa bersalah atas berbagai tuduhan termasuk pemerkosaan, penculikan, dan pengurungan paksa.
Hachane mengatakan bahwa dua terdakwa lainnya masing-masing dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan satu tahun hukuman percobaan.
Hachane mengatakan para penyerang juga didenda 200.000 dirham (sekitar US$ 16.000).
Simak juga 'Maroko Selesai Menggelar Pemilu, Penghitungan Suara Dimulai':
Namun baginya, vonis tersebut tampaknya "tidak berat", karena tuduhan perdagangan manusia dapat diancam dengan hukuman hingga 30 tahun penjara. Dia mengatakan akan mengajukan banding.
"Korban masih menjalani perawatan dan apa yang dia alami akan bersamanya selama sisa hidupnya," kata pengacara itu.
Korban pemerkosaan di Maroko sering mengalami trauma ganda karena masyarakat menyalahkan mereka atas penderitaan yang mereka alami.
Tetapi media dan kelompok hak asasi di negara itu terus meningkatkan kewaspadaan akan kekerasan endemik terhadap perempuan.
Pada tahun 2018 sebuah undang-undang untuk memerangi pelecehan mulai berlaku, untuk pertama kalinya memberikan perlindungan hukum kepada perempuan di Maroko dari "tindakan yang dianggap sebagai bentuk pelecehan, agresi, eksploitasi seksual atau perlakuan buruk".
Undang-undang baru tersebut juga membuka jalan bagi korban kekerasan untuk ditawarkan dukungan.