Oposisi Berkoalisi, Netanyahu Terancam Kehilangan Kursi PM Israel

Oposisi Berkoalisi, Netanyahu Terancam Kehilangan Kursi PM Israel

Novi Christiastuti - detikNews
Senin, 31 Mei 2021 09:50 WIB
Tel Aviv -

Pemimpin nasionalis garis keras Israel, Naftali Bennett, menyatakan akan bergabung dengan pemerintahan koalisi potensial yang bisa mengakhiri kekuasaan pemimpin terlama Israel, Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu.

Seperti dilansir AFP, Senin (31/5/2021), para anggota parlemen Israel yang menentang Netanyahu telah melakukan pembicaraan intens menjelang batas waktu pembentukan pemerintahan baru Israel yang jatuh pada Rabu (2/6) mendatang, setelah gencatan senjata disepakati dengan Hamas di Jalur Gaza.

Netanyahu (71) yang menghadapi sidang kasus penipuan, penyuapan dan pelanggaran kepercayaan, mempertahankan kekuasaan selama gejolak politik yang menyelimuti Israel selama dua tahun terakhir setelah empat pemilu tidak memberikan hasil yang meyakinkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemilu terbaru pada Maret lalu menunjukkan Partai Likud, yang menaungi Netanyahu, meraup sebagian besar kursi parlemen Israel, namun dia kembali gagal membentuk pemerintahan yang solid.

Pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid, memiliki batas waktu hingga Rabu (2/6) malam untuk membentuk koalisi rival Netanyahu. Lapid (57) tengah mengupayakan aliansi beragam, yang oleh media lokal Israel disebut sebagai blok 'perubahan', yang bisa menyertakan Bennett juga para anggota parlemen keturunan Arab-Israel.

ADVERTISEMENT

Dalam tekadnya melengserkan Netanyahu, Lapid menawarkan pembagian kekuasaan dan akan membiarkan Bennett (49) menjabat PM Israel untuk periode pertama -- dengan jabatan PM akan digilir antara pemimpin partai yang bergabung koalisi ini.

Pada Minggu (30/5) waktu setempat, Bennett mengungkapkan niatnya untuk bergabung dengan koalisi Lapid. "Saya akan melakukan apapun untuk membentuk pemerintah persatuan nasional dengan teman saya, Yair Lapid," cetusnya usai bertemu anggota Partai Yamina yang menaunginya.

Baik partai Bennett maupun partai Lapid mulai membahas aliansi politik ini pada Minggu (30/5) malam untuk meresmikan kesepakatan tersebut. Partai Yamina yang beraliran nasionalis-agamis meraup tujuh kursi parlemen dalam pemilu 23 Maret.

Netanyahu yang sudah menjabat selama 12 tahun berturut-turut, menyebut rencana koalisi rival politiknya itu sebagai 'bahaya bagi keamanan Israel'.

Dia sebelumnya berupaya mempertahankan kekuasaannya dengan menawarkan kesepakatan pembagian kekuasaan kepada beberapa mantan sekutu politiknya, termasuk Bennett. Dia memperingatkan bahwa Israel bisa saja dikuasai oleh aliansi 'sayap kiri' yang berbahaya.

Diketahui bahwa partai Lapid yang meraup 17 kursi parlemen, mendapat waktu empat pekan untuk membentuk pemerintahan baru Israel. Partai Likud yang menaungi Netanyahu dengan perolehan 30 kursi parlemen telah diberi kesempatan yang sama oleh Presiden Israel, Reuven Rivlin, namun gagal membentuk pemerintahan baru hingga batas waktu berakhir.

Koalisi pemerintahan Lapid disebut juga menyertakan Partai Biru-Putih yang menaungi rival politik Netanyahu, Benny Gantz, dan Partai Harapan Baru yang menaungi mantan sekutu Netanyahu, Gideon Saar. Partai Yisrael Beitenu yang menaungi Avigdor Lieberman, mantan Menteri Pertahanan Israel, dan Partai Buruh serta Partai Meretz juga akan bergabung koalisi itu.

Aliansi politik baru ini masih membutuhkan dukungan sejumlah anggota parlemen Israel keturunan Palestina untuk bisa lolos dalam voting penetapan di parlemen.

Pakar ilmu politik Universitas Hebrew, Gayil Talshir, menuturkan kepada AFP bahwa Israel saat ini 'lebih dekat dari sebelumnya' dengan koalisi perubahan. "Netanyahu ada dalam posisi putus asa," cetusnya.

Diketahui bahwa sebelumnya Netanyahu mencetuskan digelarnya pemilu baru, yang akan menjadi pemilu kelima Israel dalam dua tahun terakhir.

Halaman 2 dari 2
(nvc/ita)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads