Aksi menentang kudeta Myanmar terus memakan ratusan korban jiwa, tercatat hingga akhir pekan ini sudah ada lebih dari 700 orang yang tewas. Kekerasan terus terjadi dengan tembakan peluru bahkan serangan senapan granat.
Seperti dilansir AFP, Minggu (11/4/2021) menurut laporan sebuah media lokal, cabang terbesar Bank Myawaddy di Mandalay menjadi sasaran ledakan pada Minggu pagi waktu setempat sehingga menyebabkan seorang penjaga keamanan terluka. Bank tersebut diketahui adalah salah satu dari sejumlah bisnis yang dikendalikan militer dan menghadapi tekanan boikot sejak kudeta, dengan banyak nasabah menuntut untuk menarik tabungan mereka.
Dalam beberapa hari terakhir, pertumpahan darah terus meningkat. Pada hari Sabtu (10/4) kelompok pemantau Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mengatakan pasukan keamanan menembak mati dan menewaskan 82 pengunjuk rasa anti-kudeta di kota Bago.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara keseluruhan, AAPP telah memverifikasi 701 kematian warga sipil sejak kudeta 1 Februari lalu.
Sementara itu, junta militer mengklaim jumlah kematian yang jauh lebih rendah pada Jumat lalu, dengan mengatakan ada 248 kematian sejak kudeta.
Kerusuhan juga meletus pada Sabtu di kota Tamu, dekat perbatasan India, tempat pengunjuk rasa melawan ketika tentara mencoba merobohkan barikade darurat yang didirikan untuk memblokir pasukan keamanan.
Menurut seorang penduduk setempat, 2 warga sipil tewas ketika tentara mulai menembak secara acak. Para pengunjuk rasa membalas serangan itu dengan melemparkan bom yang berhasil meledakkan dan menjungkirbalikkan sebuah truk militer, menewaskan lebih dari belasan tentara.
Meningkatnya kekerasan dan korban jiwa membuat sejumlah kelompok etnis bersenjata Myanmar marah. Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang (TNLA), salah satu kelompok etnis, menyerang sebuah kantor polisi pada Sabtu lalu dan menewaskan sedikitnya 10 polisi.
Sementara itu, media lokal melaporkan lebih dari belasan petugas polisi tewas, sementara TNLA mengatakan militer Myanmar membalas dengan serangan udara terhadap pasukannya, menewaskan sedikitnya satu tentara pemberontak.
Simak juga 'Militer Myanmar Bantah 600 Demonstran Tewas: Hanya 248 Orang':
Hukuman Mati
Pada Jumat (9/4), media pemerintah melaporkan ada 19 orang yang telah dijatuhi hukuman mati. Pengadilan militer menuduh para terdakwa terkait perampokan dan pembunuhan, dimana 17 di antaranya diadili secara in absentia.
Phil Robertson, Wakil Direktur Human Right Watch (HRW) Asia, mengatakan Myanmar telah lama menetapkan hukuman mati. Namun negara yang kini dikuasai militer itu sudah tidak melakukan eksekusi selama lebih dari 30 tahun.
"Ini menunjukkan militer bersiap untuk kembali ke masa ketika Myanmar mengeksekusi orang-orang," katanya.