Kremlin atau kantor kepresidenan Rusia mengaku prihatin akan bertambahnya jumlah warga sipil yang menjadi korban tewas dalam berbagai unjuk rasa di Myanmar. Keprihatinan ini disampaikan Rusia setelah sebelumnya mengirimkan Wakil Menteri Pertahanan ke Myanmar untuk memperdalam hubungan militer.
Seperti dilansir Reuters, Selasa (30/3/2021), kunjungan Wakil Menhan Rusia, Alexander Fomin, ke Myanmar pekan lalu memicu kritikan tajam dari para aktivis hak asasi manusia (HAM). Mereka menuduh Rusia melegitimasi junta militer Myanmar, yang melancarkan kudeta dan merebut pemerintahan Aung San Suu Kyi pada 1 Februari lalu.
Pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, sebelumnya menyebut Rusia sebagai 'teman sejati' dan menyambut kehadiran pasukan Rusia dalam parade Hari Angkatan Bersenjata pada Sabtu (27/3) lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hari yang sama tercatat sebagai hari paling berdarah di Myanmar setelah pasukan keamanan menewaskan 141 orang dalam berbagai unjuk rasa. Jumlah korban jiwa sepanjang Sabtu (27/4) mengalami peningkatan dengan didasarkan pada data terbaru kelompok advokat, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP).
Data terbaru AAPP juga menyebut bahwa sedikitnya 510 warga sipil tewas di Myanmar dalam dua bulan terakhir, atau sejak kudeta militer pada Februari lalu.
Dalam pernyataan terbaru pada Senin (29/3) waktu setempat, juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov menuturkan kepada wartawan bahwa posisi Rusia terhadap Myanmar tidak seharusnya disalahartikan meskipun ada kunjungan delegasi, termasuk saat Fomin menghadiri parade Myanmar.
"Kami sangat khawatir dengan meningkatnya jumlah korban sipil," ucap Peskov.