Uni Eropa akan menjatuhkan sanksi terhadap 11 individu yang dianggap terlibat dalam kudeta militer di Myanmar yang melengserkan pemerintahan sipil yang dipimpin Aung San Suu Kyi pada 1 Februari lalu.
Seperti dilansir Reuters, Senin (22/3/2021), hal itu diungkapkan kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Josep Borrell, menjelang pertemuan Menteri Luar Negeri negara-negara Uni Eropa di Brussels, Belgia pada Senin (22/3) waktu setempat.
Sementara Uni Eropa memberlakukan embargo senjata terhadap Myanmar, dan menargetkan beberapa pejabat militer senior sejak tahun 2018, langkah menjatuhkan sanksi baru ini akan menjadi respons paling signifikan sejauh ini sejak kudeta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terhadap Myanmar, kita akan menjatuhkan sanksi terhadap 11 orang yang terlibat dalam kudeta dan penindasan para demonstran," ujar Borrell, sembari menambahkan bahwa situasi di Myanmar semakin memburuk.
Reuters melaporkan pada 8 Maret lalu bahwa Uni Eropa sedang mempersiapkan langkah-langkah tersebut. Nama-nama individu yang dijatuhi sanksi akan diungkap ke publik begitu sanksi diputuskan secara resmi oleh para Menteri negara Uni Eropa.
Langkah lebih kuat diperkirakan akan diambil Uni Eropa segera setelah mereka menargetkan bisnis yang dikelola militer Myanmar.
Para diplomat Uni Eropa menuturkan kepada Reuters bahwa sebagian dari konglomerat militer Myanmar, Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL) dan Myanmar Economic Corporation (MEC), kemungkinan besar akan menjadi target.
Lihat juga Video: Detik-detik Pengendara Motor di Myanmar Ditembak
Sanksi-sanksi Uni Eropa nantinya akan menghalangi investor Uni Eropa dan bank-bank untuk melakukan bisnis dengan mereka.
Para konglomerat Myanmar tersebar di seluruh sektor perekonomian, mulai dari pertambangan dan manufaktur hingga makanan, hotel, telekomunikasi dan perbankan. Mereka termasuk di antara pembayar pajak terbesar di Myanmar dan mencari kemitraan dengan perusahaan asing saat Myanmar membuka diri selama liberalisasi demokrasi.
Misi pencari fakta Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tahun 2019 merekomendasikan sanksi untuk dijatuhkan terhadap dua perusahaan itu dan anak perusahaan mereka, yang oleh PBB disebut memberikan sumber pendapatan tambahan terhadap militer yang bisa digunakan untuk mendanai pelanggaran hak asasi manusia (HAM).