Para demonstran antikudeta tetap melanjutkan aksi protes di berbagai wilayah Myanmar pada Kamis (4/3) waktu setempat. Unjuk rasa berlanjut setelah puluhan orang tewas dalam berbagai aksi di Myanmar sehari sebelumnya.
Seperti dilansir AFP, Kamis (4/3/2021), Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melaporkan sedikitnya 38 orang tewas sepanjang Rabu (3/3) waktu setempat, yang disebut sebagai hari paling mematikan di Myanmar setelah kudeta militer pada 1 Februari lalu.
Gambar-gambar yang beredar online menunjukkan momen saat polisi Myanmar melepas tembakan ke arah kerumunan demonstran dan kondisi jenazah para demonstran yang berlumuran darah dengan luka tembak di kepala.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara keseluruhan, menurut Utusan PBB untuk Myanmar, Christine Shcraner Burgener, sudah lebih dari 50 orang tewas dalam unjuk rasa antikudeta di Myanmar.
Pada Kamis (4/3) waktu setempat, demonstran antikudeta kembali turun ke jalanan di kota Yangon dan Mandalay, yang merupakan dua kota terbesar di Myanmar. Aksi protes serupa juga digelar di berbagai kota lainnya, termasuk wilayah yang sebelumnya dilanda bentrokan antara demonstran dan polisi.
"Berbahaya untuk berada di sini setelah sekitar pukul 09.30 waktu setempat. Mereka menembak di jalanan," tutur seorang penjual makanan di Yangon, kepada AFP pada Kamis (4/3) pagi waktu setempat.
Di salah satu distrik di Yangon yang menjadi lokasi unjuk rasa nyaris setiap hari, para demonstran membangun barikade dengan tumpukan ban bekas, batu bata, karung pasir, bambu dan kawat berduri.
Menurut kelompok pemantau Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), polisi Myanmar telah menangkap nyaris 1.500 orang sejak kudeta militer dilancarkan. Dari jumlah itu, sebut AAPP, sekitar 1.200 orang di antaranya masih ada dalam tahanan.
Dalam laporannya, AAPP mengklaim telah mendokumentasikan lebih dari 50 kematian, dengan merinci remaja-remaja dan orang-orang berusia 20-an tahun ditembak di kepala dan dada.
Pemerintah junta militer berupaya keras menyembunyikan tindak kekerasan yang dilakukannya, dari dunia. Mereka memblokir akses internet dan melarang Facebook -- media sosial yang paling populer. Bahkan enam jurnalis ditangkap polisi pada akhir pekan lalu dan didakwa atas undang-undang yang melarang tindakan yang 'memicu ketakutan, menyebarkan berita palsu, atau membuat marah pegawai pemerintah secara langsung atau tidak langsung'.
Namun demikian, para demonstran, jurnalis warga maupun beberapa kelompok media masih bisa mengirimkan gambar dan video keluar dari Myanmar.