Pemerintah Amerika Serikat (AS) akan kembali mengucurkan dana ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar lebih dari US$ 200 juta (Rp 2,8 triliun) pada akhir bulan mendatang, setelah sebelumnya AS menghentikan pendanaan di bawah Donald Trump.
Seperti dilansir AFP, Kamis (18/2/2021), jumlah itu menjadi komitmen AS untuk WHO sebagai negara pendonor terbesar. Hal itu disampaikan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pada Rabu (17/2) waktu setempat.
"Ini adalah langkah kunci dalam memenuhi kewajiban keuangan kami sebagai anggota WHO. Ini juga mencerminkan komitmen baru kami untuk memastikan WHO memiliki dukungan yang dibutuhkannya untuk memimpin tanggapan global terhadap pandemi," kata Blinken pada sesi virtual Dewan Keamanan PBB saat membahas COVID-19.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Amerika Serikat akan bekerja sebagai mitra untuk mengatasi tantangan global. Pandemi ini adalah salah satu tantangan tersebut dan memberi kami kesempatan tidak hanya untuk melewati krisis saat ini, tetapi juga untuk menjadi lebih siap dan lebih tangguh untuk masa depan," imbuh Blinken.
Blinken mengatakan AS juga akan "memberikan dukungan finansial yang signifikan" kepada Covax, sebuah rencana global untuk mendistribusikan vaksin ke negara-negara miskin di dunia.
WHO, yang berada Di Jenewa, Swiss, menyambut baik pengumuman Blinken. Dana yang diberikan akan akan mendukung tujuan WHO untuk meningkatkan kesehatan miliaran orang pada tahun 2023, yakni dengan "tidak hanya menanggapi pandemi COVID-19 saja tapi juga keadaan darurat kesehatan lainnya di seluruh dunia."
Sebelumnya Trump - yang dihujani kritik atas penanganan COVID-nya di AS - telah mengumumkan pengunduran diri AS dari WHO, dengan mengatakan WHO terikat pada China dan tidak melakukan cukup tindakan untuk menghentikan pandemi.
Presiden Joe Biden segera membatalkan keputusan tersebut setelah menjabat, meskipun pemerintahannya juga telah menekan China untuk lebih terbuka kepada tim WHO yang menyelidiki asal-usul virus COVID-19.
"Semua negara harus menyediakan semua data dari hari-hari awal wabah," kata Blinken.
"Dan ke depan, semua negara harus berpartisipasi dalam proses yang transparan dan kuat untuk mencegah dan menanggapi keadaan darurat kesehatan, sehingga dunia belajar sebanyak mungkin, secepat mungkin," imbuhnya.