Perdana Menteri (PM) Thailand, Prayuth Chan-O-Cha, mengungkapkan dirinya menerima surat dari pemimpin junta militer baru Myanmar yang isinya meminta bantuan untuk mendukung demokrasi. Prayuth sendiri pertama memimpin Thailand setelah melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil tahun 2014 lalu.
Seperti dilansir Reuters, Rabu (10/2/2021), Prayuth menuturkan kepada wartawan di Bangkok pada dirinya selalu mendukung demokrasi di negara tetangga Thailand itu.
"Kami mendukung proses demokrasi di Myanmar, tapi yang terpenting saat ini adalah menjaga hubungan baik karena itu berdampak pada masyarakat, ekonomi, perdagangan perbatasan, khususnya saat ini," ucap Prayuth.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Thailand mendukung proses demokrasi. Selebihnya terserah dia bagaimana melanjutkannya," imbuhnya, merujuk pada pemimpin junta Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing.
Min Aung Hlaing yang merupakan Panglima Militer Myanmar menangkap pemimpin de-facto Aung San Suu Kyi dan jajarannya, kemudian mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan Suu Kyi dalam kudeta pada 1 Februari lalu.
Dituturkan Min Aung Hlaing bahwa kudeta diperlukan karena pemerintah sipil gagal menindaklanjuti laporan kecurangan pemilu November tahun lalu, yang dimenangkan Partai Liga Demokrasi Nasional (NLD) yang dipimpin Suu Kyi. Komisi Pemlilu Myanmar telah menegaskan tidak ada kecurangan dalam pemilu tahun lalu.
Prayuth yang sebelumnya menjabat Panglima Militer Thailand tahun 2010-2014 juga melakukan kudeta terhadap pemerintahan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra tahun 2014 lalu. Dia ditunjuk menjadi Perdana Menteri Thailand oleh badan legislatif nasional yang didominasi militer pada Agustus 2014.
Dalam pemilu tahun 2019 yang oleh rivalnya disebut sarat kejanggalan dan cacat, Prayuth kembali terpilih menjadi Perdana Menteri Thailand.
Militer Thailand dan Myanmar diketahui memiliki hubungan kerjasama erat dalam beberapa tahun terakhir, meskipun ada riwayat permusuhan antara kedua negara.
(nvc/ita)