Pengadilan tinggi PBB akan memutuskan apakah pihaknya akan mengadili gugatan Iran untuk membatalkan sanksi-sanksi nuklir dari Amerika Serikat atau tidak. Sanksi itu diberlakukan kembali oleh pemerintahan AS era mantan Presiden Donald Trump.
Dilansir dari AFP, Rabu (3/2/2021), Iran menyeret AS ke Mahkamah Internasional (ICJ) pada pertengahan tahun 2018, dengan mengatakan Washington melanggar perjanjian kedua negara tahun 1955 silam.
Trump memberlakukan kembali sanksi-sanksi setelah menarik AS dari Kesepakatan Nuklir tahun 2015 dengan Iran, yang membuat cemas sekutu Eropa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
AS mengatakan ICJ yang berbasis di Den Haag tidak memiliki yurisdiksi dan harus membatalkan kasus tersebut.
AS juga menegaskan bahwa sanksi itu diperlukan karena Iran merupakan ancaman besar bagi keamanan internasional.
ICJ didirikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia II untuk mengatur sengketa antar negara anggota. Jika pengadilan mengizinkan kasus ini dilanjutkan, maka keputusan akhir akan diambil berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun lagi.
Kesepakatan nuklir 2015 membuat Iran membatasi kekuatan nuklirnya dan membiarkan masuknya pengawas internasional, sebagai imbalan diakhirinya sanksi selama bertahun-tahun oleh negara-negara Barat.
Setelah AS menarik diri dari kesepakatan nuklir, Iran mengaktifkan kembali Perjanjian Persahabatan tahun 1955, yang mendahului revolusi Islam tahun 1979 yang menggulingkan Syah pro-AS dan membuat Iran memutuskan hubungan dengan AS.
Iran mengatakan penerapan kembali sanksi menyebabkan kesulitan, penderitaan dan menghancurkan jutaan orang.