Dunia internasional bersuara mengenai penahanan Aung San Suu Kyi dan pejabat pemerintah lainnya oleh militer Myanmar. Badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Amerika Serikat hingga Australia menentang tindakan Militer Myanmar soal kudeta.
Aung San Suu Kyi dan presiden Myanmar ditahan setelah terjadi peningkatan ketegangan antara militer dan pemerintah sipil atas tuduhan kecurangan dalam pemilihan umum pada November 2020 lalu. Hal ini menjadi isyarat terjadinya kudeta di Myanmar.
"Sekretaris Jenderal mengutuk keras penahanan Penasihat Negara Daw Aung San Suu Kyi, Presiden U Win Myint dan para pemimpin politik lainnya menjelang sesi pembukaan parlemen baru Myanmar," kata juru bicara Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, Stephane Dujarric dalam sebuah pernyataan dilansir AFP, Senin (1/2/2021)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kejadian ini menjadi pukulan serius bagi reformasi demokrasi di Myanmar," imbuhnya.
Pemilihan umum Myanmar pada November 2020 telah memberikan mandat kuat bagi Partai Liga Demokrasi Nasional (NLD) yang menaungi Suu Kyi dan mencerminkan keinginan dari rakyat Myanmar untuk melanjutkan reformasi demokrasi.
Dalam pernyataannya, Guterres menyerukan kepada militer Myanmar untuk menghormati keinginan rakyat dan mematuhi norma-norma demokrasi, dan menyelesaikan setiap masalah lewat dialog damai.
"Semua pemimpin harus bertindak demi kepentingan yang lebih besar bagi reformasi demokrasi Myanmar, terlibat dalam dialog yang bermakna, menahan diri dari kekerasan dan sepenuhnya menghormati hak asasi manusia dan kebebasan fundamental," kata pernyataan itu.
Dewan Keamanan PBB akan mengutus perwakilannya di Myanmar, Christine Schraner untuk mengadakan pertemuan pada Kamis (4/2) di Myanmar. Pertemuan itu bisa dimajukan karena perkembangan kudeta ini, kata seorang diplomat kepada AFP.
Sementara itu, Amerika Serikat dan Australia turut mengecam tindakan Militer Myanmar tersebut. Kedua negara itu menuntut pembebasan para pejabat Myanmar yang ditahan, termasuk Aung San Suu Kyi.
"Amerika Serikat menentang setiap upaya untuk mengubah hasil pemilu atau menghalangi transisi demokrasi Myanmar, dan akan mengambil tindakan terhadap mereka yang bertanggung jawab jika langkah-langkah ini tidak dibatalkan," kata juru bicara Gedung Putih Jen Psaki dalam sebuah pernyataan.
Kami "mendesak militer dan semua pihak lain untuk mematuhi norma demokrasi dan supremasi hukum, dan membebaskan mereka yang ditahan hari ini," tambahnya.
Pemerintah Australia juga menuntut agar militer Myanmar segera membebaskan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi dan para pemimpin terpilih lainnya.
"Kami menyerukan kepada militer untuk menghormati aturan hukum, untuk menyelesaikan perselisihan melalui mekanisme yang sah dan untuk segera membebaskan semua pemimpin sipil dan lainnya yang telah ditahan secara tidak sah," kata Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne.
Militer Myanmar menetapkan keadaan darurat dan mengumumkan pihaknya mengambil alih kekuasaan atas pemerintah Myanmar selama 1 tahun. Pengumuman disampaikan setelah pemimpin de-facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, ditahan oleh militer.
Pengumuman disampaikan melalui video oleh saluran televisi militer Myanmar, Myawaddy TV, pada Senin (1/2) waktu setempat. Disebutkan bahwa kekuasaan diserahkan kepada Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing. Wakil Presiden Myanmar,Myint Swe, mantan jenderal militer dinyatakan akan menggantikan Presiden Win Myint.
Militer Myanmar menambahkan juga akan mengadakan pemilihan baru dan menyerahkan kekuasaan kepada partai pemenang setelah keadaan darurat selama setahun berlalu, beberapa jam setelah melakukan kudeta.
"Kami akan melakukan demokrasi multi-partai yang nyata ...dengan keseimbangan dan keadilan penuh," kata Militer Myanmar dalam sebuah pernyataan di Facebook.
Kekuasaan akan dialihkan setelah mengadakan pemilihan umum yang bebas dan adil dan periode keadaan darurat berakhir.