Para pembela HAM khawatir otoritas Irak akan memberi lampu hijau untuk eksekusi mati massal para anggota ISIS, beberapa hari setelah serangan bom bunuh diri mematikan di Baghdad.
Pada hari Minggu (24/1) seorang pejabat kepresidenan Irak mengatakan kepada AFP bahwa lebih dari 340 perintah eksekusi mati "untuk tindakan terorisme atau kriminal" siap untuk dilaksanakan.
"Kami terus menandatangani lebih banyak," kata pejabat yang enggan disebut namanya itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilansir dari AFP, Senin (25/1/2021), perintah itu diungkapkan setelah dua serangan bom bunuh diri pekan lalu diklaim oleh kelompok ISIS. Serangan bom itu menewaskan sedikitnya 32 orang di pasar Baghdad.
Pejabat tersebut, bersama dengan sumber peradilan yang dihubungi oleh AFP, tidak dapat memberikan rincian tambahan tentang kapan eksekusi mati dapat dilakukan.
Undang-undang tahun 2005 di Irak menjatuhkan hukuman mati bagi siapa pun yang dihukum karena "terorisme". UU itu mencakup keanggotaan kelompok ekstremis meski mereka tidak dihukum atas tindakan tertentu.
Eksekusi mati itu disebut kelompok hak asasi hanya sebagai alasan politik.
"Para pemimpin menggunakan pengumuman eksekusi massal hanya untuk memberi isyarat kepada publik bahwa mereka menanggapi (masalah ini) dengan serius," kata Belkis Wille, peneliti senior krisis dan konflik di kelompok HAM, Human Rights Watch.
"Hukuman mati digunakan sebagai alat politik lebih dari apapun," katanya kepada AFP.
Pada pertengahan 2018, Perdana Menteri Haider al-Abadi mengumumkan 13 eksekusi mati di bawah Undang-Undang Kontra-Teror, dan untuk pertama kalinya, pihak berwenang menerbitkan foto-foto hukuman gantung. Hal itu terjadi setelah ISIS membunuh delapan warga sipil.