Mantan Presiden Burundi, Pierre Buyoya, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup secara in absentia atas pembunuhan presiden penggantinya pada 1993. Hal ini disampaikan dalam putusan pengadilan.
Dilansir AFP, Rabu (21/10/2020) Buyoya pada Senin (19/10) dihukum karena "serangan terhadap kepala negara" atas perannya dalam pembunuhan presiden pertama yang dipilih secara demokratis, Melchior Ndadaye, selama kudeta yang menjerumuskan negara itu ke dalam perang saudara.
Selain Buyoya, 18 petinggi militer dan warga sipil yang dekat dengannya mendapat hukuman yang sama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Inilah Negara Paling Tidak Bahagia di Dunia |
Tiga orang lainnya dijatuhi hukuman 20 tahun penjara karena "terlibat" dalam kejahatan tersebut dan mantan perdana menteri Antoine Nduwayo, dibebaskan.
Hanya lima terdakwa yang hadir, dan sisanya dijatuhi hukuman secara in absentia. Salah satu terdakwa mengatakan kepada AFP bahwa pengacara mereka belum diberi tahu bahwa keputusan itu akan dilakukan.
Dalam putusan yang dilihat oleh AFP tidak memberikan rincian tentang bukti mengenai Buyoya, atau dugaan perannya dalam pembunuhan tersebut. Buyoya saat ini adalah perwakilan Uni Afrika di Mali.
Setelah kemerdekaan dari Belgia pada tahun 1962, ketegangan antara kelompok mayoritas Hutu dan minoritas Tutsi berulang kali memanas di Burundi, dengan sejarah pembantaian.
Buyoya diketahui berkuasa pada tahun 1987 melalui kudeta. Dia mengundurkan diri pada tahun 1993 usai pemilihan demokratis pertama negara itu, setelah Ndadaye, seorang Hutu, mengalahkannya secara telak.
Ndadaye terbunuh hanya empat bulan kemudian dalam upaya kudeta oleh tentara garis keras Tutsi.
Pembunuhan itu menyebabkan perang saudara selama bertahun-tahun antara dua kelompok etnis tersebut, di mana diperkirakan 300.000 orang tewas sebelum perang berakhir pada tahun 2006. Buyoya menjadi presiden lagi setelah kudeta, berkuasa antara tahun 1996 dan 2003.
Pada November 2018, Burundi mengeluarkan surat perintah penangkapan internasional terhadap Buyoya, yang dia kecam sebagai "langkah pengalihan lain yang bertujuan untuk mengubur pertanyaan yang belum terselesaikan" tentang krisis politik yang mencengkeram negara itu setelah pemilihan umum 2015 yang disengketakan.
Pada tahun 1998 selusin tentara berpangkat rendah dihukum karena pembunuhan tersebut.