Pemerintah China bereaksi marah atas tindakan Amerika Serikat melarang impor dari wilayah Xinjiang atas klaim kerja paksa. China mengeluhkan "kebohongan palsu" yang disebutnya dimaksudkan untuk merugikan bisnis China.
Dewan Perwakilan Rakyat AS telah mendukung larangan atas klaim kerja paksa sistematis di Xinjiang, di mana para aktivis mengatakan lebih dari satu juta orang Uighur dan warga muslim lainnya yang sebagian besar berbahasa Turki, telah dipenjara di kamp-kamp.
Beijing bereaksi dengan marah atas tindakan AS itu, dengan mengatakan bahwa itu "dengan jahat memfitnah situasi hak asasi manusia di Xinjiang, China".
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"China mengungkapkan kemarahan yang kuat dan penolakan yang tegas, dan telah membuat pernyataan tegas kepada AS," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin pada konferensi pers seperti dilansir kantor berita AFP, Rabu (23/9/2020).
"Urusan Xinjiang adalah murni urusan dalam negeri China. AS tak berhak untuk ikut campur. Apa yang disebut masalah kerja paksa adalah kebohongan yang dibuat-buat oleh organisasi dan individu Barat tertentu," imbuhnya.
Wang juga menuduh AS menggunakan klaim kerja paksa untuk "membatasi dan menekan bisnis Xinjiang".
Raksasa pakaian Swedia H&M mengatakan bulan ini pihaknya mengakhiri hubungannya dengan produsen benang China atas tuduhan kerja paksa.
Xinjiang adalah pusat global untuk kapas, dengan sebuah studi oleh kelompok pekerja memperkirakan bahwa 20 persen pakaian yang diimpor ke Amerika Serikat mengandung setidaknya beberapa benang dari wilayah tersebut.
Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur ini masih harus disahkan oleh Senat AS sebelum menjadi undang-undang.
Berbicara sebelum pemungutan suara, Ketua DPR AS Nancy Pelosi mengatakan "produk kerja paksa sering berakhir di sini di toko-toko dan rumah-rumah Amerika".
Minggu lalu Beijing menerbitkan buku putih yang dengan tegas mempertahankan kebijakannya di Xinjiang, di mana dikatakan program pelatihan, skema kerja, dan pendidikan yang lebih baik di wilayah itu berarti kehidupan telah meningkat.
Beijing bersikeras bahwa pusat-pusat pelatihan di Xinjiang itu diperlukan untuk membasmi ekstremisme. Tetapi para pejabat Keamanan Dalam Negeri AS menggambarkan pusat pelatihan itu sebagai fasilitas yang dijalankan seperti "kamp konsentrasi".