Undang-undang Keamanan Nasional China untuk Hong Kong dinilai bisa menimbulkan risiko serius bagi kebebasan wilayah tersebut. Pakar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menilai UU ini melanggar kewajiban hukum internasional.
Seperti dilansir AFP, Jumat (4/9/2020), otoritas China menghadapi rentetan kritik atas UU yang diberlakukan pada akhir Juni setelah protes pro-demokrasi mengguncang Hong Kong tahun lalu.
UU tersebut, yang mengkriminalisasi upaya pemisahan diri, subversi, terorisme, dan kolusi dengan pasukan asing, menjatuhkan hukuman seumur hidup maksimum dan telah mengintimidasi banyak pengunjuk rasa untuk diam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam sebuah surat yang dipublikasikan Jumat (4/9), para penasihat PBB memperingatkan bahwa bagian dari undang-undang tersebut "tampaknya mengkriminalkan kebebasan berekspresi atau segala bentuk kritik" terhadap China.
"Undang-undang Keamanan Nasional ... menimbulkan risiko serius bahwa kebebasan fundamental dan perlindungan proses yang semestinya dapat dilanggar," kata pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia (HAM) dalam suratnya.
Surat itu memperingatkan bahwa undang-undang tersebut mungkin "melanggar hak kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berkumpul secara damai."
Para pelapor PBB mendesak China untuk "mempertimbangkan kembali" undang-undang tersebut dan agar peninjau independen sepenuhnya ditunjuk untuk memastikan undang-undang memenuhi kewajiban HAM China.
Mereka juga menyatakan keprihatinan atas salah satu poin paling kontroversial dari undang-undang - yang memungkinkan kasus dapat ditransfer dari yurisdiksi Hong Kong ke daratan China - dan memperingatkan hal itu dapat merusak hak atas peradilan yang adil.
Para ahli PBB juga menyuarakan keprihatinan atas definisi terorisme di bawah hukum keamanan nasional.
Mereka memperingatkan itu meluas ke kerusakan properti fisik seperti fasilitas transportasi - yang melampaui definisi Dewan Keamanan PBB tentang perilaku teroris yang bertujuan untuk menyebabkan kematian atau cedera tubuh yang serius.
Sejak UU tersebut diberlakukan di Hong Kong, sejumlah negara telah mengakhiri kesepakatan bilateral dengan kota tersebut, termasuk perjanjian ekstradisi dengan AS, Inggris, Kanada, Australia, Prancis, dan Jerman.