Aktivitas menanam dan panen sayur kubis di pulau-pulau kecil di Laut China Selatan dimanfaatkan China untuk memperkuat klaim atas wilayah tersebut. China membiarkan lebih banyak orang untuk tinggal di pulau itu untuk membuktikan bahwa pulau kecil itu bisa menopang masyarakat yang tinggal di sana.
Seperti dilaporkan media pemerintah China, Global Times dan dilansir Voanews.com, Kamis (11/6/2020), bulan lalu, personel Angkatan Laut China memanen 750 kilogram sayuran termasuk kubis di Woody Island yang masuk Kepulauan Paracel di Laut China Selatan.
Para personel Angkatan Laut China itu menggunakan teknologi 'sand-to-earth' yang dikembangkan secara domestik untuk menumbuhkan kubis bok choy, baby kubus dan selada di antara sayuran lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Vietnam dan Taiwan mengklaim area kepulauan yang sama juga wilayah perairan di sekelilingnya. Lebih jauh ke selatan di jalur perairan 3,5 juta kilometer persegi, Brunei, Malaysia dan Filipina bersengketa dengan China dalam mengklaim Spratly Islands. Negara-negara lain mengklaim wilayah itu karena ikan dan sumber daya energinya. Sementara China telah menempatkan militernya di kepulauan itu sejak tahun 2010.
Para pengamat meyakini bahwa hasil panen ini akan membantu China untuk membuktikan aktivitas ekonomi di pulau buatan di lautan yang menjadi sengketa banyak negara itu. Ini juga disebut bisa menjadi nilai tambah dalam upaya mencari dasar hukum yang diakui internasional untuk menguasai kepulauan itu.
"Selain penggunaan militer, Anda perlu melakukan sesuatu yang substantif demi mendukung klaim kedaulatan Anda," sebut Oh Ei Sun selaku peneliti senior pada Institut Urusan Internasional Singapura. "Anda perlu melakukan sesuatu yang bisa memajukan apa yang disebut ekonomi lokal," imbuhnya.
Simak video 'Banjir Melanda Tiga Wilayah di China Tenggara':
Global Times mengutip para pakar yang menyebut bahwa teknologi di balik panen sayuran China di Woody Island itu bisa 'mendukung masyarakat' di sini. Sekitar 1.000 orang telah tinggal di pulau kecil itu dan sebagian besar bergantung pada pengiriman makanan dari China daratan.
Mahkamah Peradilan Internasional Permanen menganggap sikap menunjukkan wewenang secara berkelanjutan terhadap sebidang tanah sebagai penggunaan administratif yang efektif dari Laut China Selatan.
China kalah dari Filipina dalam kasus arbitrase tahun 2016 terkait dasar hukum untuk klaim kedaulatan maritimnya. Otoritas China mengutip catatan sejarah untuk berargumen bahwa sekitar 90 persen perairan di Laut China Selatan merupakan milik negara itu. Pembangunan hanggar dan pemasangan radar di beberapa kepulauan, usai melakukan reklamasi bertahun-tahun, telah membuat Filipina waspada.
Terobosan pertanian dan perkebunan di Woody Island, sebut Global Times, bertentangan dengan pernyataan pengadilan tahun 2016 yang menyebut pulau di lautan tidak bisa mendukung 'masyarakat mereka sendiri'.
"Anda dapat memasukkan ini sebagai bagian dari strategis holistik untuk menunjukkan kemampuan menjadi tempat tinggal," sebut Alan Chong selaku Associate Professor pada S Rajaratnam School of International Studies di Singapura.
Disebutkan juga bahwa Taiwan, Vietnam dan Filipina telah mempromosikan penanaman tanaman di pulau-pulau yang ada di bawah kendali mereka di laut yang menjadi sengketa, namun tanpa keuntungan hukum yang jelas.