Kematian George Floyd memicu gelombang demonstrasi besar di Amerika Serikat (AS) guna melawan rasisme sistemik di negara itu. Salah seorang warga kulit hitam yang turut ikut berdemo, menceritakan pengalamannya menjadi korban rasisme.
Seperti dilansir dari AFP, Senin (8/6/2020) pemuda itu bernama Moah Pollas. Pemuda Afrika-Amerika yang baru lulus dari perguruan tinggi ini pun menjelaskan alasannya mengapa dirinya ikut dalam demonstrasi George Floyd selama berhari-hari.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai korban rasisme sendiri, Pollas mengaku tidak bisa tinggal di rumah. Itu dimulai lebih awal. Ketika dia baru berusia tujuh atau delapan tahun. Suatu hari dia berjalan di sebuah trotoar usai pulang sekolah, dia mendengar seseorang berteriak padanya dari jendela bus sekolah yang lewat.
"Bawa kembali bokong hitammu ke Afrika!" kata Pollas menirukan teriakan seorang anak laki-laki. Sementara yang lain, kata Pollas, tertawa serak di dalam bus.
"Pengalaman itu," kata pemuda lulusan ilmu politik berusia 21 tahun ini, "telah mewarnai setiap pengalaman dengan orang kulit putih atau orang kulit berwarna lain selama sisa hidup saya."
Dilahirkan di ibukota Haiti Port-au-Prince, Pollas berusia dua tahun ketika keluarganya pindah ke AS. Orang tuanya, yang melarikan diri dari penganiayaan politik, menetap di kota Burbank, California yang didominasi warga kulit putih.
"Saya tumbuh dengan mengetahui bahwa berdasarkan warna kulit saya, orang-orang akan memandang saya dengan cara yang lebih mengancam, menganggap saya dengan cara yang lebih berbahaya dan menganggap saya lebih kasar," ungkapnya.
Menjadi kulit hitam di Amerika Serikat, kata Pollas rasanya "mencekik."
Ada cerita lain soal pengalamannya dengan rasisme. Suatu hari ketika dia berusia 13 tahun dia berada di mobil bersama ayahnya, yang bekerja di bisnis farmasi. Ketika itu polisi menepikan mobil mereka.
"Petugas polisi menghentikan orang-orang hanya karena mereka berkulit hitam," katanya.
"Ketika ayah saya dihentikan, saya bisa merasakan ketakutan di dalam dirinya. Ketakutan yang belum pernah saya lihat dalam diri lelaki yang melindungi saya dan keluarga saya sepanjang hidup saya. Ketakutan itu beralih ke saya pada saat itu. Dan jujur, tidak pernah meninggalkanku," tutur Pollas.
Kemudian pada 25 Mei lalu terjadi pembunuhan seorang pria kulit hitam berusia 46 tahun bernama George Floyd. Floyd mati lemas ketika seorang petugas yang menangkapnya di Minneapolis menekan lehernya dengan lutut selama hampir sembilan menit.
Baca juga: Aksi Black Lives Matter di Penjuru Australia |
Kematian ayah lima anak itu terekam dalam video mengerikan yang telah ditonton jutaan orang. Video tersebut memicu aksi protes besaran-besaran di seluruh Amerika Serikat dan juga di banyak kota di luar negeri.
"Ketika saya melihat video itu ... Saya tidak hanya melihat George Floyd. Saya melihat wajah ayah saya. Saya melihat wajah paman saya, kakak saya, sepupu saya, teman saya. Aku melihat wajahku sendiri," kata Pollas, tidak menyembunyikan emosinya.