Alek Sigley tengah mempelajari literatur Korea modern di Universitas Kim Il Sung di Pyongyang ketika dia menghilang pada Juni 2019 lalu, yang memicu kekhawatiran internasional. Pemerintah Australia tidak memiliki perwakilan diplomatik di Pyongyang dan bergantung pada pihak ketiga dalam upaya pencarian Sigley. Diketahui bahwa kepentingan Australia di Korut diwakili oleh Kedutaan Besar Swedia.
Pemerintah Swedia pun mengirimkan utusan dan Sigley dibebaskan setelah sembilan hari dalam penahanan -- periode yang jauh lebih singkat daripada sejumlah warga asing yang ditangkap di negeri komunis itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam tulisan di jurnal akademik Korsel, Monthly North Korea, Sigley mengungkapkan bahwa dirinya dipaksa mengaku bersalah saat interogasi selama 9 hari yang tidak menyenangkan, yang "sepenuhnya terputus dari dunia luar".
"Dari sudut pandang saya, saya tidak bersalah tapi dituduh dengan keliru oleh otoritas," kata Sigley. "Mereka terus membuat saya menulis 'permintaan maaf' seakan mereka ingin memberi saya pelajaran," ujarnya seperti dilansir kantor berita AFP, Rabu (15/1/2020).
Dia tidak menuding otoritas melakukan kekerasan fisik padanya. Sigley pun menyebut bahwa penangkapannya merupakan "titik balik dalam hidup saya", seraya menggambarkan penangkapan itu sebagai penculikan oleh polisi rahasia Korut.
Sebelumnya pada tahun 2017, mahasiswa Universitas Virginia, AS yang telah dipenjara saat melakukan tur di Korut dan jatuh dalam koma selama ditahan, meninggal beberapa hari setelah tiba kembali di AS.
Simak Juga "Spionase, 'Gunung' Penghalang Hubungan Indonesia-Australia"
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini