Seperti dilansir AFP, Rabu (8/1/2020), Iran dalam pernyataannya menegaskan bahwa 'puluhan rudal' diluncurkan terhadap target pangkalan udara Ain al-Asad di Irak, yang menjadi markas tentara AS sebagai balasan atas serangan drone AS yang menewaskan Mayor Jenderal Qasem Soleimani. Iran juga menjanjikan bahwa 'respons yang lebih menghancurkan' akan diberikan jika AS melancarkan serangan lebih lanjut.
Secara terpisah, Pentagon atau Departemen Pertahanan AS menyatakan besarnya kerusakan akibat serangan rudal Iran masih dalam proses penaksiran. Sementara itu, Presiden AS Donald Trump mengatakan semuanya baik-baik saja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kronologi Pertikaian Iran-AS
Februari 1979
Berkaca dari pertikaian Iran-AS yang belakangan ini memanas, ternyata kedua negara ini pernah menjalin kerjasama. Sebagaimana dicatat Fenny Rizka Salsabila dan Dina Yulianti dalam tulisan berjudul 'Security Dilemma dalam Ketegangan AS-Iran Pasca Serangan Kapal Tanker di Teluk Oman', ketegangan antara kedua negara dimulai sejak kemenangan revolusi Islam Iran tahun 1979. Yakni ketika Raja Iran Mohammed Reza Pahlevi yang didukung oleh AS terpaksa meninggalkan negaranya akibat revolusi rakyat Iran yang memrotes berbagai kebijakan rezim monarkhi itu.
Raja Reza digantikan oleh pemimpin revolusi, Ayatullah Agung Ruhollah Khomeini. Iran kemudian berubah menjadi negara Republik Islam Iran.
Padahal, selama masa pemerintahan Raja Reza, hubungan Iran dan AS sangat dekat. Bagi Iran, beraliansi dengan AS memberikan perlindungan tingkat tinggi dari potensi serangan Uni Soviet. Sebaliknya, bagi AS, Iran memberi keuntungan karena Iran mau membuka wilayahnya bagi kehadiran AS dan bersedia membayar mahal keperluan militernya. Pada masa itu, Iran merupakan pengimpor senjata dari AS yang terbesar di kawasan.
Sejak saat itu, ketegangan demi ketegangan di antara kedua negara pun dimulai. Pada masa awal-awal revolusi Iran, AS diduga berupaya melakukan sabotase yang kemudian dibalas oleh para pemuda Iran dengan menyandera warga negara AS yang berada di Kedutaan Besar AS di Teheran selama 444 hari (4 November 1979-20 Januari 1981).
Baca juga: Konflik Suriah dan Perang Dunia Ketiga |
Akibat kasus penyanderaan itu, AS memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran hingga hari ini. Selain itu, pada 4 November 1979, Presiden AS Jimmy Carter membekukan semua harta kekayaan Iran yang berada di wilayah hukum AS. AS pun mengembargo Iran dalam beberapa bidang, dari minyak hingga sanksi pengembangan senjata.
November 2013
Pada November 2013, Iran dan 5 negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan Jerman/Uni Eropa (yang disebut P5+1) menandatangani perjanjian yang disebut Joint Plan of Action yang memberikan kelonggaran pada sebagian sanksi, termasuk pencairan dana milik Iran sebesar 4,2 miliar dollar AS yang semula dibekukan. Sebagai kompensasi, Iran berjanji membatasi pengayaan uranium dan mengizinkan pengawas internasional masuk ke kawasan sensitif di reaktor nuklirnya.
Juli 2015
Lalu pada 14 Juli 2015, usai melalui berbagai negosiasi tingkat tinggi, AS bersama negara-negara P5+1 akhirnya bersedia menandatangani Kesepakatan Nuklir JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Actions).
Di bawah kesepakatan ini, Iran berjanji membatasi program nuklirnya sampai pada level tertentu dan sebagai kompensasinya, AS (dan negara-negara Barat) bersedia menghentikan berbagai sanksi ekonomi terhadap Iran. Kesepakatan tersebut kemudian diadopsi menjadi Resolusi Dewan Keamanan 2231 tahun 2015.
Kendati demikian, JCPOA ini banyak ditentang politisi Partai Republik. Bahkan ketika Donald Trump (kandidat Republikan) berkampanye, ia menjanjikan akan mengakhiri perjanjian tersebut jika menang dalam Pemilu Presiden 2016.
Mei 2018
Donald Trump terpilih sebagai Presiden AS. Trump menepati janjinya dengan mengumumkan mundurnya AS dari JCPOA pada 8 Mei 2018 dan mengancam akan menerapkan sanksi ekonomi yang lebih keras pada Iran. Selanjutnya pada 7 Agustus 2018, pemerintahan Trump menerapkan embargo tahap pertama yang melarang semua perusahaan AS untuk berbisnis dengan Iran di bidang aeronautika, mobil, karpet, hingga emas.
Mulai November 2018, sanksi tahap kedua diterapkan berupa pembatasan kerjasama industri minyak dan perbankan. Akibat dari berbagai sanksi ini, perekonomian Iran terdampak sangat buruk.
April 2019
Manuver Trump berlanjut pada 8 April 2019 ketika ia mengumumkan bahwa militer Iran, Islamic Revolutionary Guard Corps (IRGC) sebagai organisasi teroris asing (Foreign Terrorist Organisation, FTO).
Ini adalah pertama kalinya AS secara resmi menetapkan militer negara lain sebagai "kelompok teroris". Dengan pernyataaan bahwa IRGC adalah FTO, segala aliran keuangan dan perjalanan yang terkait dengan IRGC pun menjadi terlarang dan bisa dikenai sanksi oleh AS.
Iran merespon manuver Trump dengan mendeklarasikan AS sebagai 'negara sponsor terorisme' dan militer AS yang berada di kawasan Timur Tengah sebagai 'kelompok teroris'.
Mei 2019
Pada 12 Mei 2019, empat kapal diserang di perairan Uni Emirat Arab, yaitu dua kapal tanker minyak milik Saudi, Al-Marzoqah dan Amjad, kapal tanker Norwegia Andrea Victory, dan kapal tongkang Uni Emirat Arab.
AS lansung menuduh Iran pelaku serangan itu. Namun Iran membantahnya. Pada hari yang sama, Pusat Komando Militer AS mengatakan bahwa sejumlah pesawat pengebom B-52 tratofortress yang dikirim ke Timur Tengah untuk menekan Iran.
Selanjutnya, pada 14 Mei terjadi serangan drone terhadap dua stasiun pengeboran minyak Saudi di sebelah barat Riyadh. Pasukan Houthi Yaman menyatakan bahwa pihaknya yang mengirimkan drone tersebut, tetapi AS dan Saudi menuduh Iran ada di belakang serangan itu.
Pada 19 Mei, sebuah roket menghantam Kedutaan Besar AS di Baghdad. Hingga kini belum diketahui pengirim roket tersebut, namun AS menuduh Iran sebagai dalangnya.
Juni 2019
Selanjutnya, pada tanggal 20 Juni 2019, Iran menembak drone militer AS, RQ-4A Global Hawk yang melintas di atas Selat Hormuz yang merupakan teritorial Iran.
Dikutip dari pernyataan yang ditulis dalam akun twitter-nya (20 Juni 2019), Menteri Luar Negeri Iran, Javad Zarif, mengatakan bahwa AS telah melanggar batas wilayah Iran sehingga sudah patut Iran membela diri.
Januari 2020
Komandan Pasukan Quds pada Garda Revolusi Iran, Mayor Jenderal Qasem Soleimani, dibunuh Amerika Serikat (AS) di Baghdad, Irak. Iran pun meradang dan mengancam akan balas dendam.
Soleimani tewas setelah kendaraan yang ditumpanginya terkena serangan drone militer AS di luar kompleks Bandara Internasional Baghdad pada 3 Januari 2020. Total 10 orang tewas akibat serangan AS yang diperintahkan oleh Trump itu. Trump berdalih bahwa Soleimani dibunuh sebagai teroris.
Tak hanya mengancam soal balas dendam, Iran juga memutuskan untuk mengabaikan batasan pengayaan nuklir dalam perjanjian pada tahun 2015.
Iran akhirnya benar-benar membalas serangan AS itu. 'Puluhan rudal' diluncurkan ke arah target pangkalan udara Ain al-Asad di Irak, yang menjadi markas tentara AS.
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini