Dalam situs resmi CIFOR, laporan kebakaran hutan yang memuat pernyataan tersebut telah dihapus. CIFOR pun menyertakan alasan dihapusnya publikasi tersebut dari situs mereka.
"Publikasi terbaru dari sebuah blog 'Satelit mengungkapkan skala kebakaran baru-baru ini tetapi masih kurang merusak dibandingkan dengan kebakaran tahun 2015' yang menganalisis tingkat area terbakar di Indonesia selama musim kebakaran terbaru telah dihapus dari situs web CIFOR," tulis CIFOR di situs resminya, seperti dilihat detikcom, Minggu (8/12/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pusat Penelitian Kehutanan Internasional yang berbasis di Jakarta seharusnya menyerahkan hasil penelitiannya sesusai proses yang berlaku. CIFOR mengakui standar tersebut tidak dilakukan.
"Dalam hal ini, praktik itu tidak sepenuhnya dipatuhi dan oleh karena itu kami telah mencabut blog untuk memungkinkan dilakukannya analisis data lebih lanjut. Kami menyesali kekhilafan ini dan meminta maaf kepada pembaca kami," tulis CIFOR.
Diberitakan sebelumnya, CIFOR merlis laporan yang menyebutkan sebagian besar lahan dan hutan yang terbakar adalah wilayah yang sebelumnya telah terdegradasi, sebagian lagi adalah lahan gambut yang menyimpan banyak karbon. Laporan itu dirilis pada Senin (2/12).
Selama bertahun-tahun negara di Asia Tenggara telah menderita akibat asap yang disebabkan oleh kebakaran lahan dan hutan di Indonesia. Namun CIFOR mengatakan bahwa kebakaran tahun ini adalah yang terburuk sejak tahun 2015 yang membakar lahan dan hutan seluas 2,6 juta hektare.
Pusat Penelitian Kehutanan Internasional yang berbasis di Jakarta ini mengatakan analisis citra satelit dari sepuluh bulan pertama tahun ini menunjukkan bahwa sebagian besar kebakaran terjadi di lahan-lahan yang sebelumnya telah digunduli.
"Penilaian satelit kami memperkirakan bahwa ada 1,64 juta hektare lahan dan hutan terbakar antara 1 Januari dan 31 Oktober di tujuh provinsi di Indonesia. Ini termasuk 670.000 ha (41 persen) di lahan gambut. Temuan ini mengungkapkan bahwa skala kebakaran 2019 termasuk besar, sepadan dengan bencana kebakaran 2015 ketika itu 2,1 juta hektare di provinsi yang sama telah terbakar," demikian tulis laporan itu.
"Kami menemukan bahwa 76 persen pembakaran terjadi di lahan terlantar. Tanah itu sebelumnya adalah lahan hutan, tetapi siklus pembakaran yang berulang telah mengubahnya menjadi semak belukar terdegradasi yang tidak produktif," kata para ilmuwan CIFOR yang dipimpin oleh David Gaveau dalam sebuah pernyataan. (azr/fdu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini