Santiago - Warga
Chile terbiasa melihat bentrokan sarat kekerasan antara polisi dan demonstran. Namun yang terbaru membuat warga terguncang, yakni ratusan demonstran buta sebelah karena terkena tembakan senapan pelet yang dilepaskan polisi Chile.
Seperti dilansi
r Associated Press, Jumat (15/11/2019), badan medis utama Chile menyebut sedikitnya 230 orang kehilangan penglihatan setelah tembakan mengenai salah satu mata mereka dalam bentrokan sejak bulan lalu.
Unjuk rasa di Chile memprotes kesenjangan dan layanan sosial yang lebih baik.
Dari jumlah tersebut, sedikitnya 50 orang akan membutuhkan mata prostetik. "Ini berarti bahwa para pasien tidak hanya kehilangan kemampuan melihat, tapi kehilangan mata mereka yang sebenarnya," sebut Dr Patricio Meza yang merupakan Wakil Presiden Medical College of Chile.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut disebut Meza bahwa para korban yang kehilangan penglihatan rata-rata berusia 30 tahun. Dalam 80 persen kasus tersebut, kerusakan penglihatan disebabkan oleh dampak timah atau proyektil karet terhadap mata mereka.
"Kita menghadapi krisis kesehatan yang sesungguhnya, keadaan darurat medis mengingat situasi beberapa hari ini, dalam tiga pekan, kita mendapatkan jumlah kasus tertinggi melibatkan komplikasi okuler yang serius karena tembakan di mata," sebut Meza.
Diketahui bahwa unjuk rasa dimulai para mahasiswa sejak 18 Oktober ini, awalnya memprotes tarif kereta bawah tanah dan meluas menjadi gerakan yang lebih besar dengan daftar tuntutan terkait kesenjangan besar antara warga miskin dan kaya di Chile. Demonstran menyerukan reformasi di banyak sektor mulai dari layanan kesehatan, pendidikan, sistem pensiun dan bahkan konstitusi yang disusun sejak era diktator militer tahun 1980-an silam.
 Bentrokan antara demonstran dan polisi di Chile Foto: AP Photo/Esteban Felix |
Dalam unjuk rasa, polisi sering menembakkan pelet ke arah kerumunan demonstran. "Mereka menembak pada sudut 90 derajat, yang bisa dikatakan, secara langsung terarah ke wajah," sebut Meza.
Meza menyebut sebagian besar korban luka menyebut pasukan kepolisian nasional Chile atau Carabineros yang melepas tembakan.
Institut Nasional Hak Asasi Manusia setempat menyatakan meskipun mereka mengecam aksi anarkis yang dilakukan demonstran, hal itu tidak membenarkan 'penggunaan tanpa pandang bulu' senjata pelet oleh polisi antihuru-hara. Disebutkan Meza bahwa negara-negara lainnya tampak mematuhi protokol soal penggunaan senjata pelet, namun tidak demikian dengan Chile.
Chile memiliki protokol untuk penggunaan kekuatan oleh polisi dalam unjuk rasa. Polisi diwajibkan untuk pertama kali mengupayakan ketertiban dengan komando verbal. Penggunaan kekuatan baru diizinkan dalam kasus adanya perlawanan aktif dari demonstran. Penggunaan senjata tidak mematikan baru diperbolehkan saat terjadi tindak kekerasan aktif oleh demonstran. Senjata mematikan boleh digunakan secara terbatas pada situasi yang dianggap mematikan.
Institut Nasional HAM, Amnesty International dan Medical College mendorong pemerintah Chile untuk melarang penggunaan senjata pelet oleh polisi sejak awal unjuk rasa. Dorongan itu menghadapi hambatan. Namun pekan ini pengadilan banding di Antofagasta dan Concepcion melarang penggunaan senjata mematikan terhadap demonstran yang beraksi secara damai.
Pada Minggu (10/11) lalu, Kepala Kepolisian Jenderal Mari Rozas menyatakan penggunaan senjata pelet akan dibatasi. Namun keesokan harinya, seorang mahasiswa bernama Vicente Munoz terkena proyektil yang ditembakkan polisi dari jarak hanya 2 meter. Munoz kehilangan penglihatan sebelah kiri akibat tembakan itu.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini