Aksi Kontroversial PM Inggris Minta Parlemen Reses Panjang

Round-Up

Aksi Kontroversial PM Inggris Minta Parlemen Reses Panjang

Tim detikcom - detikNews
Jumat, 30 Agu 2019 19:43 WIB
PM Inggris Boris Johnson (Foto: BBC World)
London - Aksi kontroversial dilakukan Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson. Johnson meminta Ratu Elizabeth II untuk membekukan parlemen mulai tanggal 9 September sampai 14 Oktober mendatang. Permintaan itu pun disetujui oleh Ratu Elizabeth II.

Pembekuan kegiatan parlemen selama lima minggu adalah tidak biasa, karena biasanya parlemen hanya reses selama dua minggu. Selain itu, parlemen biasanya ditutup sekali satu tahun untuk periode singkat, biasanya pada bulan April atau Mei.



SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Aksi Johnson itu dituding sebagai upaya untuk membungkam kritik kepadanya. Mengingat belakangan, kritik dan penentangan terhadap Boris Johnson makin lantang, karena ia ingin mendorong proses Brexit tanpa perjanjian, sekalipun kalangan ekonomi dan keuangan berulangkali memperingatkan, langkah itu akan membawa kerugian besar dan mengguncang perekonomian Inggris. Karena dalam waktu dua minggu, hampir tidak mungkin parlemen menggagas alternatif lain, selain proses Brexit tanpa perjanjian.

Kebijakan Johnson pun mengejutkan para lawan politiknya maupun penentang Brexit No Deal, yaitu proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa tanpa perjanjian. Sebab, langkah ini bermakna bahwa parlemen kemungkinan besar tidak akan memiliki cukup waktu untuk membahas segala rancangan undang-undang yang dimaksudkan menghalangi Inggris keluar dari Uni Eropa, atau dikenal dengan sebutan Brexit, tanpa kesepakatan pada tanggal 31 Oktober.



Meskipun, pada prinsipnya, tanggal Inggris keluar dari Uni Eropa sudah ditetapkan dalam undang-undang. Jadi, jika tidak ada perubahan sama sekali, maka secara otomatis Inggris tetap akan keluar dari keanggotaan Uni Eropa, baik dengan kesepakatan atau tanpa kesepakatan.

Pada Kamis (29/8), aksi protes pun bermunculan dan menyebar di jalan-jalan di London. Ribuan orang melakukan aksi spontan di sekitar gedung parlemen di London dengan kampanye bertagar #StopTheCoup di media sosial. Mereka bertekad menghentikan Boris Johnson yang mereka anggap sudah bertindak seperti seorang diktator yang melakukan kudeta terhadap parlemen yang demokratis.



Sebuah petisi online dengan cepat mengumpulkan sampai satu juta tandatangan menentang kebijakan Boris Johnson. Kritik tajam juga datang dari oposisi dan dari Demokrat Liberal.

Pemimpin oposisi dari Partai Buruh Jeremy Corbyn menggambarkan berbagai reaksi protes sebagai 'kemarahan konstitusional'. Sementara politikus dari Demokrat Liberal Jo Swinson menyebut itu 'berbahaya dan tidak dapat diterima'. Bahkan di kalangan Partai Konservatif sendiri, langkah tidak biasa Boris Johnson menyulut debat.



Menteri Pertama Skotlandia Nicola Sturgeon juga dengan cepat mengecam keputusan PM Boris Johnson. "Ini bukan cara demokrasi, ini adalah kediktatoran. Dan jika anggota parlemen tidak menemukan cara untuk bersama-sama menghentikan Boris Johnson di jalurnya, maka hari ini akan dicatat sejarah sebagai hari kematian demokrasi Inggris Raya," katanya.

Namun, Johnson membantah semua tudingan yang dilayangkan kepadanya.

"Akan ada cukup waktu di parlemen, bagi anggota parlemen, untuk berdebat tentang Brexit," ujar Johnson.



Johnson tak sendirian. Pihak-pihak yang mendukung pembekuan parlemen memberikan pendapatnya. Mereka berpendapat bahwa lembaga tersebut menghormati hasil referendum tahun 2016 dengan memastikan Inggris keluar dari Uni Eropa pada tanggal 31 Oktober.
Halaman 2 dari 3
(mae/haf)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads