Seperti dilansir media lokal Filipina, Philstar.com dan The Manila Times, Kamis (14/2/2019), juru bicara kepresidenan Filipina, Salvador Panelo, menyatakan bahwa langkah resmi dari Kongres Filipina dibutuhkan untuk mengubah nama negara ini.
"Konstitusi menyatakan Kongres bisa menetapkan sebuah aturan hukum yang bisa mengubah nama negara ini dan mengajukannya kepada rakyat untuk sebuah referendum, semacam plebisit," ucap Panelo dalam pernyataannya. "Mari kita lihat bagaimana itu berkembang," imbuh jubir Duterte itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Proposal untuk mengubah nama Filipina telah dimunculkan sejak tahun 1970-an. Menurut sebuah artikel pada situs Komisi Sejarah Nasional Filipina, mantan Senator Eddie Ilarde mengajukan rancangan undang-undang (RUU) untuk mengubah nama Filipina menjadi 'Maharlika' pada tahun 1978 silam.
Artikel itu menyebut 'Maharlika' merupakan 'warisan kuno' rakyat Filipina, jauh sebelum kedatangan penjajah dari Barat. Saat itu, sejumlah akademisi menentang perubahan nama tersebut, dengan menyebutnya sama saja mengabaikan akar sejarah dan identitas nasional Filipina.
Tahun 2017 lalu, anggota parlemen Partai Magdalo, Gary Alejano, pernah mengajukan RUU untuk mengubah nama negara Filipina. Di bawah RUU House of Representatives (HOR) atau DPR Filipina 5867, sebuah komisi khusus akan dibentuk untuk mengganti nama negara.
Ditegaskan Panelo bahwa langkah semacam itu tidak diperlukan lagi karena Kongres Filipina bisa mengundangkan sebuah aturan hukum untuk mengubah nama negara ini.
"Jika Konstitusi menyatakan Anda bisa menetapkan sebuah aturan hukum, mengapa Anda perlu membentuk sebuah komisi? Dengan mengajukan RUU, para pemain (parlemen) akan merundingkannya di Kongres dan mereka akan diundang. Jadi, itu akan lebih mudah," tegasnya.
Disebutkan Philstar.com bahwa pasal XVI ayat 2 Konstitusi 1987 menyatakan Kongres bisa, dengan aturan hukum, mengadopsi nama baru untuk negara, lagu kebangsaan, atau lambang negara, yang sungguh mencerminkan dan menyimbolkan cita-cita, sejarah dan tradisi rakyat.
Jika hal itu dilakukan, maka aturan hukum yang mengatur nama baru Filipina mulai efektif setelah diratifikasi rakyat melalui sebuah referendum nasional.
Secara terpisah, Presiden Senat Filipina, Vicente Sotto III, menyebut perubahan nama negara membutuhkan banyak perubahan, yang salah satunya membutuhkan amandemen Konstitusi Filipina tahun 1987.
Terlepas dari itu, nama 'Maharlika' yang merupakan kata Melayu yang diyakini berarti 'bangsawan', termasuk oleh Duterte. Namun sejarawan Filipina menyebut pemahaman kata 'Maharlika' sebagai 'bangsawan' telah menjadi kesalahpahaman umum, yang dipicu oleh 'salah terjemahan' pada dokumen sejarah Filipina.
(nvc/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini