Seperti dilansir New York Times, Kamis (17/1/2019), voting untuk mosi tidak percaya terhadap PM May telah digelar parlemen Inggris pada Rabu (16/1) waktu setempat. Hasilnya menunjukkan 325 suara menolak dan 306 suara mendukung mosi tidak percaya yang diajukan Partai Buruh itu. Selisihnya hanya 19 suara.
Sehari sebelumnya, PM May kalah telak usai mayoritas anggota parlemen Inggris menolak Rancangan Undang-undang (RUU) soal kesepakatan keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit yang diajukannya. Sebanyak 432 suara tidak setuju dan hanya 202 suara yang menyetujui RUU itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Biasanya, seorang PM yang mengalami kekalahan telak dalam voting RUU di parlemen, akan mengundurkan diri. Namun tidak demikian dengan PM May yang disebut telah mementahkan berbagai prediksi soal kepemimpinannya atas Inggris.
Di sisi lain, meski berhasil mempertahankan jabatannya, PM May akan berhadapan dengan berbagai situasi lebih rumit menjelang batas akhir keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang jatuh pada 29 Maret mendatang.
Sebagai seorang PM yang harus memimpin Inggris keluar dari Uni Eropa, PM May menghadapi situasi di mana partai dan kabinet pemerintahannya terpecah, tidak memiliki kekuatan mayoritas di parlemen dan tidak punya jalur jelas bagi Brexit.
Ketua Partai Buruh, Jeremy Corbyn, menyebut kekalahan PM May dalam voting RUU Brexit di parlemen sebagai 'kekalahan terbesar dalam sejarah demokrasi' dan menyatakan bahwa PM May saat ini sedang memimpin 'pemerintahan zombie'.
RUU Brexit yang diajukan PM May dan ditolak parlemen Inggris diketahui mengatur banyak hal soal hubungan masa depan Inggris dan Uni Eropa setelah kedua pihak 'bercerai'. RUU Brexit perlu disahkan menjadi Undang-undang (UU) agar proses keluarganya Inggris dari Uni Eropa bisa berjalan mulus dan tertib.
Secara garis besar, RUU Brexit berisi kesepakatan dan instruksi dalam menjalin hubungan di masa depan dalam sektor ekonomi, keamanan dan berbagai area kepentingan lainnya antara Inggris dan negara-negara anggota Uni Eropa. Ada beberapa poin yang tidak disepakati anggota parlemen Inggris yang menolak RUU itu.
Keberhasilan PM May lolos dari mosi tidak percaya merupakan momen kedua yang dialaminya. Sebelumnya pada 12 Desember 2018, PM May mendapat dukungan 200 anggota parlemen Inggris dalam voting mosi tidak percaya yang digelar secara tertutup. Mosi tidak percaya pada Desember lalu diajukan oleh kalangan Partai Konservatif setelah PM May menunda voting parlemen untuk RUU Brexit yang disusunnya selama dua tahun terakhir.
Jika mosi tidak percaya yang divoting pada Rabu (16/1) itu didukung mayoritas anggota parlemen Inggris, maka PM May akan lengser dari jabatannya dan pemilihan umum (pemilu) harus segera digelar untuk mencari penggantinya. Situasi itu akan semakin menambah kerumitan dan ketidakjelasan yang kini dialami Inggris menjelang keluar dari Uni Eropa.
(nvc/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini