Seperti diketahui pada 1967 Israel berhasil merebut wilayah Tepi Barat dari kontrol Yordania. Masri muda menggalang demontrasi menolak pendudukan Israel. "Sebagai anak muda, saya percaya pada kekerasan ketika itu," kata Masri kepada Time.com, September 2015.
Selain unjuk rasa, saat masih SMA Masri juga menyurati Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Kurt Waldheim untuk memprotes pendudukan Israel. "Kami orang Palestina dan tidak ada yang lain kecuali orang-orang Palestina," kisahnya.
Di tahun 1970-an, Israel memang berlaku kejam. Tentara Israel bisa menambak siapa saja orang di wilayah Tepi Barat yang berdemonstrasi dan membawa bendera Palestina. Masri menjadi salah satu pemuda Palestina yang ditangkap dan dipenjara karena melemparkan batu ke arah tentara Israel. Dia pun terpaksa menjalani ujian dari balik jeruji. Di usia 16 tahun, Masri dikirim sang ayah untuk menyelesaikan SMA di Kairo Mesir.
Dari Kairo dia menempuh kuliah di jurusan Teknik Kimia, Virginia Tech, Amerika dan studi bidang manajemen di London, Inggris. Pada 1987 dia kembali ke Palestina ketika Intifada mulai pecah.
Namun, Masri tak lagi demonstrasi dan melempar batu ke arah tentara Israel. Dia mengubah perjuangannya dengan melakukan perencanaan pembangunan wilayah Palestina. "Pada tahap itu, saya tidak akan keluar dalam demonstrasi. Saya lebih di sisi perencanaan, "katanya.
Ketika itu belum ada peluang kerja di Tepi Barat. Masri pun bekerja di luar negeri. Dia hanya kembali ke Palestina dalam waktu-waktu tertentu. Pada 1991 ketika dia baru saja mendarat di bandara Ben Gurion, Tel Aviv, Israel, Masri dideportasi. Dia dinilai menjadi ancaman bagi Israel.
Masri baru diizinkan kembali ke Israel pada 1994. Selama di luar negeri, Masri bekerja di sejumlah perusahaan real estate di Maroko, Libya, Yordania dan Mesir. Dia juga bekerja sebagai konsultan manajemen di London, Arab Saudi, dan Washington DC.
Ketika kembali ke Nablus, Palestina Masri bertemu dengan beberapa teman sekolahnya yang berprestasi namun tak memiliki pekerjaan tetap. "Mereka dalam situasi menyedihkan," kenangnya.
Didorong oleh Kesepakatan Oslo, Norwegia tahun 1994, Masri pun bertekad untuk membangun Rawabi yang akan menjadi identitas kebanggaan bangsa Palestina. Pembangunan Rawabi yang dekat dengan Ramallah akan menciptakan lapangan kerja bagi pemuda dan masyarakat Palestina.
Tahun 2008, Massar International, perusahaan yang didirikan Masri pada 1994 membentuk anak perusahaan bernama Bayti Real Estate Investment Company - Rawabi. Perusahaan inilah yang membangun dan mengembangkan Rawabi, kota metropolitan pertama di Palestina.
Mega proyek ini berhasil mempekerjakan 10.000 orang lebih warga Palestina. Insinyur dan arsiteknya adalah warga Palestina. Sepertiga dari mereka adalah wanita.
Melalui proyek Rawabi, Masri ingin menunjukkan pada dunia bahwa warga Palestina bisa membangun bangsanya sendiri. "Ini membawa kebanggaan nasional - ya kita bisa. Dan Rawabi juga mengirim pesan ke masyarakat internasional bahwa kami bukan apa yang selama ini mereka percaya sebagai segerombolan teroris. Kami siap membangun negara kita. Inilah buktinya (Rawabi)," papar Masri kepada The Guardian. (erd/jat)