Lebih dari setengah juta warga Rohingya telah lari dari negara bagian Rakhine, Myanmar ke Bangladesh sejak akhir Agustus lalu. Eksodus ini terjadi sejak militer Myanmar melancarkan operasi besar-besaran di Rakhine menyusul serangan kelompok militan Rohingya ke puluhan pos polisi dan pangkalan militer.
Pemerintah Myanmar membantah telah melakukan pembersihan etnis dalam operasi militer tersebut. Ditegaskan Myanmar, pihaknya hanya memerangi para militan Rohingya. Pemerintah Myanmar pun menyatakan bahwa siapapun yang terverifikasi sebagai pengungsi, akan diizinkan untuk kembali ke Myanmar sesuai proses yang dilakukan bersama Bangladesh sejak tahun 1993.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah Bangladesh dan Myanmar pada Senin (2/10) lalu, sepakat untuk melakukan rencana pemulangan dan juru bicara pemerintah Myanmar mengkonfirmasi akan menerima kembali para pengungsi Rohingya yang bisa memverifikasi status mereka dengan dokumen.
Namun banyak pengungsi Rohingya di kamp-kamp di Bangladesh mencemooh hal itu.
"Semuanya dibakar, bahkan orang-orang juga dibakar," ujar seorang pria yang menyebut dirinya sebagai Abdullah seperti dikutip kantor berita Reuters, Rabu (4/10/2017). Dia menyebut bahwa warga sulit untuk memiliki dokumen, yang bisa membuktikan mereka berhak tinggal di Myanmar.
Meskipun pemerintah Myanmar tidak memberikan status kewarganegaraan bagi warga Rohingya, namun sesuai prosedur yang dilakukan bersama Bangladesh pada tahun 1993, Myanmar setuju untuk menerima kembali para pengungsi Rohingya di Bangladesh asalkan mereka bisa membuktikan bahwa mereka bermukim di Myanmar.
Pejabat Kementerian Luar Negeri Bangladesh pun mengakui sulitnya proses verifikasi tersebut. "Ini masih proses yang panjang," tuturnya.
"Kami mengatakan bahwa banyak pengungsi Rohingya tak memiliki dokumen, jadi proses ini harus fleksibel. Myanmar menyatakan mereka akan memutuskan siapa yang akan terlibat dalam verifikasi," kata pejabat Bangladesh yang enggan disebut namanya itu.
Pengungsi Rohingya lainnya, Amina Katu (60) menolak untuk kembali ke Myanmar tanpa adanya jaminan atas status kewarganegaraan penuh. "Jika kami pergi ke sana, kami harus kembali lagi ke sini," tutur wanita itu.
(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini