Gelombang kekerasan kembali marak di negara bagian Rakhine, Myanmar sejak 25 Agustus lalu, ketika kelompok militan Rohingya menyerang puluhan pos polisi dan sebuah pangkalan militer, yang menewaskan 12 orang. Militer Myanmar langsung melancarkan operasi besar-besaran untuk merespons serangan kelompok militan Rohingya. Warga sipil Rohingya mengatakan, militer Myanmar melakukan kekerasan dan pembakaran rumah-rumah warga untuk mengusir Rohingya dari negeri itu.
Namun otoritas Myanmar bersikeras, pihaknya melakukan operasi pembersihan terhadap para militan Rohingya yang tergabung dalam kelompok Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), yang mengklaim mendalangi serangan-serangan pada 25 Agustus lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dewan Keamanan PBB dan negara-negara bersangkutan harus menerapkan sanksi yag ditargetkan dan embargo senjata terhadap militer Burma (nama lain Myanmar) guna menghentikan kampanye pembersihan etnisnya," demikian disampaikan HRW dalam pernyataannya seperti dilansir kantor berita Reuters, Senin (18/9/2017).
Human Rights Watch menyerukan pemerintah negara-negara bersangkutan untuk "menerapkan larangan perjalanan dan pembekuan aset-aset terhadap pejabat-pejabat keamanan yang terlibat pelanggaran serius, memperluas embargo senjata yang telah ada untuk mencakup semua penjualan militer, bantuan dan kerja sama militer, serta penerapan larangan transaksi finansial dengan perusahaan-perusahaan kunci milik militer Burma".
Selama bertahun-tahun, Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya telah menerapkan sanksi-sanksi terhadap Myanmar untuk menghentikan kekuasaan militernya dan mendukung kampanye Aung San Suu Kyi untuk demokrasi. Hubungan AS-Myanmar telah membaik sejak militer mulai menarik diri dari pencalonan pemimpin pada tahun 2011, dan membuka jalan untuk pemilihan umum 2015 yang dimenangkan oleh partai yang dipimpin Suu Kyi. (ita/ita)











































