Menurut kelompok HAM independen Myanmar, Burma Human Rights Network, persekusi muslim dari berbagai etnis itu didukung oleh pemerintah, unsur-unsur di kalangan para biksu Buddha Myanmar, dan kelompok-kelompok sipil ultranasionalis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Laporan tersebut disusun berdasarkan lebih dari 350 wawancara di lebih dari 46 kota dan desa di Myanmar selama kurun waktu delapan bulan sejak Maret 2016.
Sejauh ini belum ada tanggapan dari pemerintah Myanmar atas laporan tersebut. Otoritas Myanmar telah membantah diskriminasi dan menyatakan bahwa militer Myanmar di Rakhine sedang melakukan operasi sah untuk memerangi para "teroris".
Selain muslim Rohingya, laporan tersebut juga membahas gambaran yang lebih luas mengenai muslim dari berbagai etnis di seluruh Myanmar, menyusul gelombang kekerasan sektarian pada tahun 2012 dan 2013. Dalam laporan itu disebutkan, banyak muslim dari berbagai etnis ditolak untuk mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Bahkan akses ke tempat-tempat ibadah Islam telah diblokir di sejumlah tempat.
Disebutkan bahwa setidaknya 21 desa di Myanmar telah menyatakan wilayah mereka sebagai "zona terlarang" bagi muslim, dan ini didukung oleh otoritas setempat.
Di negara bagian Rakhine, laporan tersebut menyoroti meningkatnya pemisahan antara komunitas Buddha dan muslim dan larangan perjalanan bagi muslim Rohingya, yang membatasi akses mereka ke layanan kesehatan dan pendidikan.
Selama ini perlakuan terhadap sekitar 1,1 juta warga Rohingya di Myanmar merupakan tantangan terbesar yang dihadapi pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi. Perempuan peraih Nobel Perdamaian itu menuai kritikan karena dianggap tidak berbuat banyak untuk melindungi warga Rohingya dari persekusi.
(ita/ita)











































