Seperti dilansir Reuters, Senin (10/7/2017), aksi ini merupakan bagian dari aksi long march selama 25 hari dari Ankara menuju Istanbul, yang dilakukan Kilicdaroglu. Aksi protes semacam ini merupakan aksi pertama dengan jangka waktu terpanjang di Turki.
![]() |
Aksi tersebut mencapai puncaknya di Istanbul pada Minggu (9/7) waktu setempat. Para demonstran melambaikan bendera Turki dan berbagai spanduk yang berisi tuntutan untuk keadilan. Saat berbicara di hadapan para demonstran, Kilicdaroglu menyebut Turki dipimpin seorang diktator, merujuk pada Presiden dan bersumpah akan melawan setiap operasi penangkapan terkait kudeta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Aksi yang dilakukan Kilicdaroglu yang menempuh 425 kilometer ini, pada awalnya tidak terlalu mendapat banyak dukungan. Namun semakin hari, demonstran mulai ikut bergabung dengannya dan jumlahnya menjadi bertambah banyak hingga hari terakhir.
"Hari terakhir bagi Justice March kita adalah awal yang baru, langkah baru," sebut Kilicdaroglu yang merupakan politikus veteran berusia 68 tahun.
"Hak asasi, hukum, keadilan," timpal para demonstran sambil berteriak.
![]() |
Lebih lanjut, Kilicdaroglu menyerukan kepada pemerintah Turki untuk mencabut masa darurat yang diberlakukan sejak upaya kudeta gagal dilakukan pada 15 Juli 2016 lalu. Kilicdaroglu juga menyerukan agar pemerintah Turki membebaskan para jurnalis yang ditahan dan memulihkan independensi pengadilan di Turki.
Kilicdaroglu yang merupakan pemimpin Partai Rakyat Republikan Turki (CHP) ini meluncurkan aksi protesnya sejak bulan lalu, setelah rekannya sesama anggota parlemen divonis 25 tahun penjara atas tudingan spionase. Enis Berberoglu menjadi anggota parlemen dari CHP pertama yang dijebloskan ke penjara. Sekitar 50 ribu orang ditangkap dan 150 ribu pegawai negeri termasuk guru, hakim dan tentara, dinonaktifkan.
"Era yang kita tinggali adalah era diktator," tegas Kilicdaroglu.
(nvc/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini