Pemilu awal atau 'snap election' digelar serentak di seluruh wilayah Inggris pada Kamis (8/6) waktu setempat. Pada April lalu, PM May menyerukan digelarnya pemilu awal yang digelar lebih cepat dari jadwal seharusnya. Sesuai undang-undang, pemilu di Inggris digelar setiap lima tahun sekali. Terakhir kali, pemilu Inggris digelar tahun 2015 sehingga berarti pemilu selanjutnya seharusnya baru digelar tahun 2020 mendatang.
PM May mengumumkan digelarnya pemilu awal dengan harapan meningkatkan dominasi Partai Konservatif dalam parlemen, demi memperkuat posisi Inggris dalam perundingan Brexit dengan otoritas Uni Eropa. Untuk diketahui bahwa Partai Konservatif saat ini menempati 330 kursi dari total 650 kursi House of Commons, setara DPR. Sedangkan oposisinya, Partai Buruh, menempati 229 kursi parlemen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Masih Dibayangi Teror, 49 Juta Warga Inggris Ikut Pemilu Awal
Prediksi exit poll menyebutkan, perolehan kursi Partai Konservatif dalam parlemen diprediksi turun ke angka 314 kursi, dari tadinya 330 kursi. Sedangkan perolehan kursi Partai Buruh justru diprediksi naik menjadi 266 kursi, dari 229 kursi.
Hasil ini tentu akan mempermalukan PM May, yang pada April lalu sangat yakin Partai Konservatif mampu memperkuat dominasi dalam parlemen sehingga dia berani menyerukan digelarnya pemilu awal.
Dibutuhkan setidaknya 326 kursi untuk mendominasi parlemen Inggris. Jika exit poll itu tepat dan Partai Konservatif hanya memperoleh 314 kursi dalam parlemen, maka tidak akan ada partai yang mendominasi. Situasi ini disebut 'hung parliament', yang disebut sebagai situasi terburuk dalam parlemen.
Dalam situasi ini, partai dengan perolehan kursi besar akan memulai lobi-lobi untuk berupaya menguasai parlemen. Dengan hilangnya dominasi Partai Konservatif dalam parlemen, proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit dikhawatirkan tidak akan mulus.
(nvc/ita)











































