Seperti dilansir media lokal Malaysia, The Star, Rabu (5/4/2017), ucapan itu disampaikan Shabudin Yahaya yang merupakan anggota parlemen dari Barisan Nasional untuk Tasek Gelugor, Penang. Shabudin berdebat dengan anggota parlemen lain soal rencana amandemen Rancangan Undang-undang Kekerasan Seksual terhadap Anak Tahun 2017. Kelompok oposisi menyarankan agar RUU itu memasukkan praktik pernikahan anak sebagai pelanggaran hukum.
Dalam argumennya, Shabudin menyebut beberapa anak perempuan 12-15 tahun terlihat lebih tua dari usia mereka sebenarnya. "Ketika kita membahas anak-anak usia 12 hingga 15 tahun, kita tidak melihat tubuh fisik mereka karena beberapa anak yang berusia 12 atau 15 tahun, tubuhnya sudah seperti perempuan berusia 18 tahun," ucap Shabudin di hadapan Dewan Rakyat Malaysia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi mungkin saja bagi mereka untuk menikah," tegasnya.
Bahkan, Shabudin menyebut, 'tidak ada yang salah' jika korban pemerkosaan menikah dengan pemerkosanya sepanjang bisa menjadi 'penyembuh' bagi semakin bertambahnya persoalan sosial. Menurut Shabudin, meskipun tindak pemerkosaan merupakan pidana, baik pelaku maupun korban harus diberi kesempatan kedua untuk melanjutkan hidup.
"Mungkin melalui pernikahan mereka bisa menjalani kehidupan yang lebih baik, lebih sehat. Dan korban yang diperkosa tidak perlu memiliki masa depan suram. Setidaknya, korban akan memiliki suami dan ini bisa menjadi penyejukan bagi persoalan sosial yang terus muncul," sebutnya.
Dr Siti Mariah Mahmud, anggota parlemen dari Partai Amanah untuk wilayah Kota Raja merasa tidak sepakat dan menyebut pemerkosa menikah dengan korbannya tidak menjamin kehidupan lebih baik. "Saya tidak sepakat menikahkan korban dengan pemerkosa. Jika pemerkosa menyesali perbuatannya, mungkin tidak apa-apa, tapi bagaimana jika suaminya tidak berguna?" tanyanya.
Anggita parlemen lainnya, Teo Nie Ching dari Partai DAP untuk wilayah Kulai memberi dua contoh kasus korban pemerkosaan dinikahi pemerkosanya. Pernikahan itu, sebut Teo, malah lebih bermasalah. Disebutkan Teo, dalam kasus pria 35 tahun di Negri Sembilan yang menikahi korban yang diperkosanya, wanita penyandang disabilitas berusia 14 tahun, sang pria malah memperkosa adik istrinya yang berusia 11 tahun dan meminta istrinya merekam aksinya.
Mengutip pengalamannya sebagai hakim, Shabudin meminta Teo tidak menggeneralisir kasus-kasus yang ada. "Korban menjadi lebih aman ketika dia menikah daripada dia sendiri. Jangan anggap mereka (pemerkosa) tetap orang jahat," ujarnya.
(nvc/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini