Seperti dilansir AFP, Senin (13/2/2017), Guterres menyampaikan komentar itu kepada wartawan di Saudi, usai berbicara dengan Raja Salman, Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Nayef, yang juga menjabat Menteri Dalam Negeri dan Wakil Putra Mahkota Mohammed bin Salman.
"Salah satu hal yang mengobarkan terorisme adalah penyampaian perasaan Islamofobia di beberapa belahan dunia dan kebijakan Islamofobia dan pidato kebencian bersifat Islamofobia," ucap Guterres dalam konferensi pers gabungan bersama Menteri Luar Negeri Saudi Adel al-Jubeir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
ISIS telah mengklaim serangkaian serangan teror yang terjadi di Arab Saudi dan juga Eropa. Banyak politikus antiimigran, termasuk Marine Le Pen di Prancis meningkat popularitasnya setelah aliran besar imigran membanjiri Eropa, yang kebanyakan merupakan warga muslim yang melarikan diri dari konflik di Suriah dan negara lain.
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memberlakukan kebijakan imigrasi yang melarang seluruh pengungsi masuk ke AS selama 120 hari dan warga dari tujuh negara mayoritas muslim -- Irak, Iran, Libya, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman untuk 90 hari.
Khusus untuk pengungsi Suriah, Trump melarang mereka masuk ke AS untuk batas waktu yang tidak ditentukan. Namun untuk sementara, kebijakan imigrasi Trump itu ditangguhkan oleh pengadilan federal AS secara nasional. Proses hukum soal kelanjutan kebijakan itu, masih berlanjut.
Sejak pecah pada Maret 2011, konflik Suriah yang terus berlangsung hingga kini, telah memunculkan 4,8 juta pengungsi dan menewaskan lebih dari 310 ribu orang. Perundingan damai ronde baru yang dicetuskan PBB akan digelar pada 20 Februari mendatang di Jenewa, Swiss.
"Kita tidak akan pernah sukses dalam memerangi terorisme di Suriah jika sebuah solusi politik yang inklusif tidak tercapai untuk rakyat Suriah," tandas Guterres.
(nvc/ita)











































