Seperti dilansir CNN, Sabtu (10/12/2016), kubu Trump memberikan pernyataan singkat tanpa ditandatangani secara resmi yang isinya cenderung 'mengejek' hasil kesimpulan CIA soal intervensi Rusia dalam pilpres AS. Padahal kesimpulan itu disepakati penuh oleh komunitas intelijen AS yang nantinya akan menjadi tempat Trump banyak bergantung semasa menjabat.
"Ini adalah orang-orang yang sama yang mengatakan Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal," demikian pernyataan tim transisi Trump, merujuk pada mendiang Presiden Irak yang lengser usai intervensi AS.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: CIA Meyakini Rusia Intervensi Pilpres AS untuk Menangkan Donald Trump
Dalam pilpres 8 November lalu, Trump jauh mengungguli Hillary dalam perolehan electoral vote, yakni 306 untuk Trump melawan 232 untuk Hillary. Hanya dibutuhkan 270 electoral vote untuk memenangkan pilpres AS. Kemenangan Trump itu sangat mengejutkan publik, tidak hanya AS tapi juga dunia, karena selama ini Hillary banyak diunggulkan menang oleh berbagai polling dan analisis.
Hasil kesimpulan CIA, atau yang dilaporkan media ternama AS, The Washington Post, sebagai 'penilaian rahasia' menunjukkan keyakinan CIA bahwa memenangkan Trump memang menjadi tujuan Rusia. Dalam kesimpulannya, CIA menyebut telah mengidentifikasi individu-individu yang memberikan ribuan email hasil retasan dari Komisi Nasional Partai Demokrat dan beberapa pihak lainnya, termasuk manajer kampanye Hillary, John Podesta, kepada WikiLeaks.
Individu-individu itu diketahui memiliki keterkaitan dengan pemerintah Rusia dan sangat dikenal oleh kalangan intelijen Rusia. Mereka juga disebut sebagai bagian dari operasi Rusia untuk mendorong kemenangan Trump dan mengurangi kesempatan Hillary untuk menang pilpres 8 November lalu.
Pernyataan tim transisi Trump yang menyinggung soal blunder memalukan intelijen AS semasa pemerintahan Presiden George W Bush bahwa Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal di Irak, disinyalir memancing pertikaian baru. Bos intelijen AS yang bertanggung jawab atas blunder itu telah sejak lama dicopot. Namun komentar baru dari tim transisi Trump memicu kekhawatiran komunitas intelijen soal sikap Trump terhadap badan intelijen AS.
Baca juga: Usir Roh Jahat, Warga Guatemala Bakar Boneka Donald Trump
Pekan ini, CNN melaporkan bahwa Trump hanya mendapat briefing intelijen sekali dalam seminggu. Padahal beberapa presiden terpilih AS sebelumnya yang bersiap untuk pelantikan, mendapat lebih banyak briefing soal intelijen.
(nvc/fdn)