Dalam pernyataan di depan parlemen Inggris, awal pekan ini, Cameron menanggapi hasil referendum Brexit yang digelar 23 Juni, dengan hasil 51,9 persen pemilih ingin Inggris keluar Uni Eropa dan 48,2 persen pemilih ingin tetap bergabung. Cameron secara tak langsung menolak digelarnya referendum kedua.
Baca juga: PM Cameron Pertegas Bukan Dirinya yang Akan Mulai Proses Keluar Uni Eropa
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Warga Inggris harus setuju pada ketentuan meninggalkan Uni Eropa dan, jika tidak memuaskan, seharusnya diberi kesempatan untuk memilih apakah Inggris akan tetap menjadi anggota Uni Eropa," demikian bunyi pemberitahuan resmi yang diajukan ke parlemen Inggris, oleh anggota parlemen Partai Buruh, Geraint Davies.
Partai Buruh merupakan kelompok oposisi dalam pemerintah Inggris saat ini, yang dikuasai Partai Konservatif, dengan kebanyakan anggotanya mendukung Brexit. Pemberitahuan itu didukung oleh satu anggota parlemen lainnya, Jonathan Edwards dari Partai Welsh Plaid Cymru.
Baca juga: Tolak Referendum Kedua, PM Cameron: Hasil Brexit Harus Dihormati
Edwards menyinggung tanda tangan 4 juta warga Inggris dalam petisi online menyerukan referendum kedua. Petisi referendum kedua itu diajukan melalui situs resmi parlemen dan pemerintah Inggris. Aturan yang berlaku menyebut, setiap petisi yang mendapat minimal 100 ribu tanda tangan berhak dibahas oleh parlemen Inggris.
Pemberitahuan itu, yang menyertakan pendapat hukum dari pengacara konstitusional, tidak memiliki kekuatan hukum resmi untuk memaksa digelarnya referendum kedua. Namun, bisa dijadikan 'kendaraan' mengumpulkan dukungan anggota parlemen lainnya dan memicu momentum politik. Davies meyakini, akan ada lebih dari 100 tanda tangan mendukung pemberitahuan itu, sehingga mampu memicu pembahasan serius soal isu itu di parlemen.
Davies menyebut, hasil referendum Brexit didasarkan pada klaim palsu soal imigran dan anggaran Uni Eropa. Menurutnya, banyak pemilih yang memanfaatkan referendum itu untuk memprotes pemerintah. Davies menegaskan, tidak seharusnya hasil Brexit dianggap menentukan masa depan Inggris.
"Permainan belum berakhir. Kita berada di babak tambahan, tapi kita masih bisa mewujudkan masa depan yang lebih kuat untuk Inggris di Eropa," tandasnya.
Baca juga: Politikus Prancis Minta Bahasa Inggris Dihapus sebagai Bahasa Resmi UE
(nvc/ita)











































