Informasi itu disampaikan oleh perusahaan analisis yang bermarkas di Amerika Serikat (AS), IHS, seperti dilansir Reuters, Senin (18/5/2016). Menurut IHS, penurunan pendapatan ini bisa dianggap sebagai ancaman bagi ISIS yang sejak lama menguasai wilayah strategis di Suriah dan Irak.
Dijelaskan peneliti senior IHS, Ludovico Carlino, dalam laporannya, pendapatan ISIS menurun menjadi US$ 56 juta (Rp 739 miliar) per bulan pada Maret lalu. Jumlah itu jauh di bawah pendapatan ISIS pada pertengahan tahun lalu, yang mencapai US$ 80 juta (Rp 1 triliun) per bulan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"ISIS masih menjadi ancaman di wilayah itu, tapi penurunan pendapatan ini menjadi hal signifikan dan akan menambah tantangan bagi kelompok militan itu untuk mempertahankan wilayahnya dalam jangka panjang," sebut Carlino dalam laporan itu.
Baca juga: AS Sebut Jumlah Anggota ISIS Saat Ini Terendah Sejak 2014
Masih menurut laporan IHS, wilayah kekuasaan ISIS menurun sekitar 22 persen sejak pertengahan tahun 2014. Sedangkan populasi di wilayah-wilayah yang dikuasai ISIS dilaporkan juga mengalami penurunan, yakni dari 9 juta jiwa menjadi sekitar 6 juta jiwa.
"Ada lebih sedikit orang dan aktivitas bisnis untuk dipungut pajak, hal yang sama juga berlaku untuk properti dan lahan sitaan," sebut peneliti senior IHS lainnya, Columb Strack.
Sekitar 50 persen pendapatan ISIS berasal dari pajak dan penyitaan, sedangkan 43 persen lainnya datang dari minyak dan sisanya dari aktivitas penyelundupan narkoba, penjualan listrik dan donasi. Laporan IHS juga menyebut, ISIS memberlakukan aturan terhadap orang-orang yang dihukum penjara bisa diampuni dengan membayar uang tunai. Ini menjadi penanda ISIS memang tengah mengalami kesulitan keuangan.
Tidak hanya itu, ISIS juga memberlakukan pajak baru seperti pajak memasang satelit atau biaya bagi mereka yang ingin keluar kota. Kemudian denda juga dikenakan bagi orang-orang yang gagal menjawab pertanyaan soal Alquran.
(nvc/ita)











































