Menteri Keuangan Amerika Serikat, Jacob Lew, memimpin rapat antara Menteri Keuangan negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB pada Kamis (17/12) waktu setempat, sebagai bagian untuk mencari solusi diplomatik mengakhiri konflik Suriah, yang juga dimanfaatkan ISIS.
Rancangan resolusi itu diajukan oleh AS dan Rusia, yang merupakan sekutu Suriah. Resolusi itu mengatur penggantian nama daftar sanksi untuk Al-Qaeda menjadi 'daftar sanksi untuk ISIL (nama lain ISIS) dan Al-Qaeda' untuk memperjelas fokus PBB dalam melawan ISIS.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Berperan aktif dan lebih tegas dalam memotong aliran dana dan aset keuangan lainnya serta sumber-sumber ekonomi (untuk ISIS)," demikian bunyi penggalan resolusi itu. Tidak hanya itu, negara-negara PBB juga diminta lebih aktif dalam melaporkan nama-nama pihak yang terkait pendanaan ISIS.
(Baca juga: Intelijen Jerman Sebut ISIS Lebih Menyerupai Entitas Negara)
Komisi Sanksi PBB yang terdiri atas 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB bisa melakukan pembekuan aset, larangan perjalanan dan larangan persenjataan terhadap individu maupun entitas negara terkait ISIS.
PBB menyerukan kepada pemerintah negara-negara anggota agar mengadopsi undang-udang yang mengatur pendanaan ISIS dan pelaku jihad asing yang bergabung ISIS sebagai tindak kriminal serius. Dengan resolusi ini, hanya membutuhkan waktu 120 hari untuk memutus aliran dana ISIS.
(Baca juga: Dari Mana ISIS Mendapatkan Dana?)
Menurut firma analisis IHS, yang berbasis di London, ISIS menuai 'pendapatan' hingga US$ 80 juta (Rp 1,1 triliun) per bulannya. Serangan udara yang terus dilakukan koalisi pimpinan AS dan juga Rusia pada fasilitas minyak yang dikuasai ISIS berdampak pada keuangan militan radikal itu.
IHS menyebut, separuh dari 'pendapatan' ISIS itu datang dari pemerasan dan penjarahan properti, sedangkan sekitar 43 persen lainnya dari penjualan minyak dan sisanya dari berbagai aktivitas seperti penyelundupan narkoba, penjualan listrik dan donasi.
(nvc/nrl)











































