Tepat enam puluh tahun setelah Sir Edmund Hillary dan Tenzing Norgay menginjakkan kaki di pucuk gunung tertinggi di muka bumi, Everest, perempuan pertama dari Arab Saudi baru menyusul. Perempuan nekat dari Jeddah itu, Raha Moharrak, 29 tahun, menapak di puncak tertinggi Himalaya pada pertengahan Mei lalu.
Raha bukan cuma menantang tebing, crevasse, jurang, dan suhu ekstrem di Himalaya, tapi juga melawan rintangan kultur di Arab. Dia dibesarkan dalam keluarga muslim konservatif. Meyakinkan ayahnya jadi tantangan pertama. "Aku bilang kepadanya dan reaksinya seolah-olah, 'Kamu hendak melakukan apa? Kenapa kamu tidak memikirkannya setelah menikah saja,'" Raha menuturkan kepada CNN beberapa waktu lalu.
Raha membuktikan bahwa dia mampu. "Aku tak peduli menjadi yang pertama, selama itu menginspirasi perempuan lain untuk menjadi yang kedua." Dia berharap apa yang dia lakukan bisa mengubah persepsi para perempuan Arab bahwa mereka memiliki dirinya sendiri dan bisa melakukan banyak hal.
Sekalipun Raha dan dua temannya dari Palestina dan Iran sudah mencapai pucuk dunia, jutaan perempuan Arab Saudi lainnya masih "terkurung" dalam rumah. Bahkan untuk sekadar menyetir mobil sendiri punβjangan berharap melihat perempuan-perempuan Arab berseliweran di jalan raya naik sepeda motor seperti di Indonesiaβmereka tak diperkenankan.
Sebenarnya tak ada hukum di Arab Saudi yang melarang perempuan menyetir mobil. Namun para ulama Arab khawatir, jika perempuan diperbolehkan menyetir mobil sendiri, bakal sulit mencegah mereka bercampur dengan laki-laki yang bukan muhrimnya. Walhasil, perempuan Arab tak pernah bisa memperoleh surat izin mengemudi. Bahkan, sekalipun seorang perempuan Arab mengantongi lisensi menyetir internasional, surat itu tak dianggap di Arab.
Satu ulama terkemuka di Saudi, Syekh Saleh bin Saad al-Lohaidan, mengatakan menyetir kendaraan bisa berdampak buruk bagi kesehatan perempuan. "Bakal mempengaruhi ovarium dan mendorong tulang panggul ke atas. Makanya perempuan yang sering menyetir biasanya punya anak bermasalah dengan kesehatan," kata Syekh Saleh kepada Sabq. Dia tak mengatakan dari mana sumber rujukan pendapatnya.
Tim kampanye salah satu kandidat perempuan, Lama al-Sulaiman/Saudi Gazette |
Begitu banyak aturan yang mengikat kaki perempuan Saudi supaya mereka lebih banyak tinggal dalam rumah dan tak bertemu dengan laki-laki yang bukan muhrimnya. Pada Sabtu pekan lalu, untuk kali pertama sepanjang sejarah Saudi, perempuan menikmati hak politiknya. Mereka mendapatkan kesempatan untuk memilih dan dipilih menjadi anggota Dewan Kota.
"Inilah hari bagi semua perempuan Saudi, apakah mereka memilih atau tidak... kita mendapatkan hak yang sudah demikian lama tak diberikan kepada kita," ujar Latifa al-Bazei kepada Washington Post.
Tapi, sejak awal sudah diramal, pertarungan politik itu tak bakal menjadi kompetisi yang imbang antara kandidat laki-laki dan perempuan. Banyak larangan menjegal kandidat perempuan untuk mencari dukungan. Mereka tak boleh menyetir mobil dan tak bebas bepergian tanpa didampingi muhrimnya. Mereka juga dilarang berbicara langsung kepada laki-laki. "Sangat... sangat sulit bagi kami untuk menang dan mencari dukungan," kata Safinaz Abu al-Shamat, 33 tahun, calon anggota Dewan Kota di Mekah, kepada Saudi Gazette.
Dari 6.917 kandidat, ada 979 calon anggota Dewan Kota perempuan. Mereka memperebutkan 2.106 kursi Dewan Kota. Artinya, satu kursi hanya diperebutkan oleh tiga calon. Tapi Amal Badreldin al-Sawari, 60 tahun, sudah pesimistis sebelum bertarung. "Aku katakan yang sebenarnya. Aku tak maju untuk menang," kata kandidat dari Kota Riyadh ini.
Dia pantas merasa kalah sebelum bertanding karena angka di lapangan memang tak seimbang. Dari 1.486.477 pemilih terdaftar, hanya ada 130 ribu perempuan. "Para laki-laki memandang sinis kami," kata Lama al-Sulaiman, kandidat dari Riyadh. Sebagian besar kandidat perempuan juga kesulitan menggalang dana kampanye.
Hasilnya gampang diramal. Hanya 702 ribu orang atau 47 persen pemilih yang memberikan suara. Dari 2.106 kursi, hanya 20 posisi yang berhasil direbut calon perempuan atau kurang dari 1 persen. Para perempuan itu berhasil menang di 12 kota, di antaranya di Mekah, Jeddah, Riyadh, Qasim, Hail, Jazan, dan Al-Jouf. Di Riyadh, Khadra al-Mubarak berhasil meraup suara ketiga terbanyak.
"Kami berhasil mengambil kursi dari mulut singa.... Kandidat perempuan yang berhasil menang setara dengan 10 anggota Dewan Kota laki-laki," kata Rasha Hifzi kepada NPR. Dia berhasil menang di Kota Jeddah. Khadra berjanji akan menjaga amanat yang diberikan kepadanya. "Aku berjanji tak akan mengkhianati kepercayaan itu," kata Khadra.
Walau kalah, sejumlah kandidat perempuan tak kecil hati. "Pencalonanku seperti mimpi jadi kenyataan.... Aku tak sedih atas kekalahanku," kata Miaad Sami Shaqra. Dia berniat maju lagi pada pemilihan anggota Dewan Kota periode berikutnya. Aisha al-Rouqi, kandidat perempuan lain yang juga gagal menang, mengatakan mereka telah membuktikan bahwa perempuan Saudi layak masuk ke kehidupan publik.
Seorang perempuan memberikan suara dalam pemilihan anggota Dewan Kota di Arab Saudi/Getty Images |
Apakah terpilihnya 20 perempuan dalam Dewan Kota akan mengubah hidup perempuan Saudi, hal itu masih sulit diraba. Aziza Youssef, aktivis politik dari Riyadh, tak percaya hidup perempuan Saudi bakal berubah. Dia menolak memberikan suara. "Aku memboikot pemilihan karena menurutku ini hanya window dressing untuk memberi kesan bahwa perempuan juga punya hak di Saudi," kata Aziza.












































Tim kampanye salah satu kandidat perempuan, Lama al-Sulaiman/Saudi Gazette
Seorang perempuan memberikan suara dalam pemilihan anggota Dewan Kota di Arab Saudi/Getty Images