Donald Trump dan barisan loyalisnya barangkali lupa pada sejarah. Mereka mungkin lupa umat Islam ikut mendirikan negara Amerika Serikat. Sejarah mencatat, ada sejumlah prajurit muslim dalam pasukan Jenderal George Washington saat Amerika berjuang memerdekakan diri dari Inggris, seperti Yusuf bin Ali, Bampett Muhammad, dan Peter Salam.
Bahkan, konon, pembantu dekat Jenderal Washington, presiden pertama Amerika, yakni Sambo Anderson, juga keturunan muslim dari suku Hausa, Nigeria. Para mantan budak ini turut angkat senjata melawan tentara Inggris demi kemerdekaan Amerika hampir dua setengah abad silam.
Saat tentara Amerika terpukul habis-habisan dan Kota Philadelphia jatuh ke tangan tentara Inggris pada 1777, salah satu penguasa asing yang pertama mengulurkan tangan adalah Sultan Sidi Muhammad bin Abdallah, Raja Maroko. Sultan Sidi menjamin keamanan kapal-kapal dagang dari Amerika yang hendak melintas atau berlabuh di pelabuhan Maroko. Pada 1786, kedua negara menandatangani Traktat Marrakesh, menandai hubungan baik kedua negara yang masih sangat muda kala itu.
Dalam Perang Dunia II, ada ribuan prajurit muslim yang juga gugur untuk Amerika. Bukan cuma dalam perang, muslim seperti Muhammad Ali, Hakeem Olajuwon, Shaquille O'Neal, dan Kareem Abdul-Jabbar juga "bertarung" dan "berkeringat" untuk Amerika.
Tapi Donald Trump masih bertanya. "Presiden Obama bilang dalam pidatonya bahwa muslim adalah pahlawan olahraga kita. Apa olahraga yang dia maksud dan siapa atlet itu?" Trump menulis di Twitter, Senin lalu. Trump mungkin juga lupa, baru beberapa bulan lalu dia mengunggah fotonya bersama Muhammad Ali dan dengan bangga menulis bahwa Ali adalah teman baiknya.
Kampanye Donald Trump di Raleigh, North Carolina/Reuters |
Kandidat Presiden Amerika dari Partai Republik itu terang-terangan memamerkan sikap anti-Islam dan tak peduli dicap rasialis. Jika terpilih menjadi penguasa Gedung Putih, Trump berniat menutup pintu Amerika bagi imigran muslim. Trump kukuh pada sikapnya dan pendukungnya kukuh memujanya. Survei USA Today bersama Universitas Suffolk menunjukkan, loyalis Trump akan ikut ke mana pun dia pergi sekalipun Trump meninggalkan Partai Republik. Di antara semua kandidat presiden republiken, hanya Ted Cruz, Marco Rubio, dan Ben Carson yang punya kans untuk menjegal Trump.
"Aku setuju seratus persen," kata Bruce Goacher, warga Davenport, Iowa, kepada LATimes, soal kebijakan anti-imigran muslim Trump. Dia dan keluarganya memuja habis-habisan Trump. Mereka bersorak, bertepuk tangan, dan tertawa setiap kali Trump berpidato.
"Dia mengatakan apa yang kamu pikirkan dan menyampaikan apa yang kamu takut katakan," kata Mauna Goacher, ibu kandung Bruce. Menurut Bruce, triliuner yang berani dan terus terang seperti Trump-lah yang dibutuhkan Amerika saat kondisi ekonomi negara itu belum benar-benar bugar. "Dia terbukti sangat pintar, lihai mencari uang, dan Amerika harus dijalankan seperti mengelola bisnis."
Komentar-komentar "panas" Trump soal Islam, imigran, dan lawan-lawan politiknya justru jadi hiburan bagi barisan penyokongnya. "Aku seperti menikmati hit-hit terbaiknya," kata Tiffany Alm, 43 tahun, ibu rumah tangga dari Wisconsin, kepada Washington Post. Hujan kritik dari semua penjuru malah membuat mereka makin bersemangat menyokong Trump.
"Dia sering mengatakan hal-hal yang benar gila, dan aku berpikir, 'Ya, Tuhan.' Lalu Trump mulai menjelaskan dan semuanya terasa masuk akal," kata Teresa Collier, 65 tahun. Tiffany dan Teresa percaya pada semua omongan Trump, termasuk terhadap pernyataan serampangan Trump bahwa ada muslim Amerika bersorak saat terjadi serangan teroris pada 11 September 2001. Tak peduli berapa kali Gedung Putih membantah, mereka juga tetap percaya bahwa Presiden Obama seorang muslim.
Survei YouGov bersama Economist beberapa pekan lalu hanya menambah bukti bahwa Trump dan loyalisnya hampir serupa pandangan soal umat Islam. Mereka sama-sama menaruh curiga terhadap umat Islam. Menurut survei itu, republiken yang menganggap muslim sebagai ancaman terhadap Amerika cenderung memilih Trump ketimbang yang tak menganggap Islam sebagai ancaman. Menurut survei bersama oleh CNN dan ORC, loyalis Trump rata-rata berumur 50-64 tahun, kurang berpendidikan, dan berpenghasilan pas-pasan.
Pendukung Trump di New York/Reuters |
"Orang harus paham mengapa dia berniat menutup pintu bagi imigran muslim, lantaran kelompok itulah yang paling kalian inginkan untuk dicegah masuk Amerika," kata Tracy Klugian, loyalis Trump dari North Dakota. Jo Ann Waller dan Edward Garcia dari Mount Pleasant, South Carolina, sepakat dengan Trump bahwa muslim merupakan ancaman bagi Amerika.
"Lihat apa yang terjadi di Paris.... Lihat apa yang terjadi di San Bernardino. Kita harus waspada," kata Edward dikutip ABC. Pekan lalu, pasangan suami-istri Syed Rizwan Farook dan Tashfeen Malik menembak mati 16 orang di San Bernardino, California. Sebagian besar korban adalah teman sekantor Rizwan Farook sendiri.












































Kampanye Donald Trump di Raleigh, North Carolina/Reuters
Pendukung Trump di New York/Reuters