Alex, 23 tahun, seperti hidup di dua dunia. Gadis di sebuah desa di Negara Bagian Washington, Amerika Serikat, ini masih rutin mengajar di sekolah Minggu yang diadakan oleh gereja. Tapi, di sela-sela kerja sebagai pengasuh anak, gadis ini punya dunia lain.
Sudah lebih dari setahun Alex diam-diam memeluk agama Islam dan menjadi simpatisan kelompok militan Negara Islam alias ISIS. Kendati masih mengajar sekolah Minggu, Alexβbukan nama sebenarnyaβtak lagi menyetel radio K-Love, yang biasa memutar lagu-lagu kristiani.
"Aku merasa sudah mengkhianati Tuhan dan Kristen," kata Alex kepada harian New York Times. Jika ada waktu luang, Alex selalu tenggelam di dunia barunya. Lewat Twitter dan jejaring sosial lain, ia "bertemu" dengan teman-teman barunya dari sejumlah negara. "Aku merasa senang karena bertemu dengan banyak teman."
"Pertemuan" Alex dengan kelompok militan itu terjadi lewat setahun lalu setelah ISIS membunuh wartawan Amerika, James Foley. Alex, yang memang sedang "galau", penasaran dengan ISIS, kelompok yang mengklaim berjuang atas nama agama, tapi juga sanggup melakukan hal keji seperti itu. Di Internet, Alex gampang sekali mencari simpatisan dan orang-orang yang mengaku sebagai anggota ISIS, seperti Monzer Hamad.
Berbulan-bulan ngobrol, berdiskusi, dan berbagi cerita dengan mereka, makin lama Alex makin dalam terseret pengaruh simpatisan ISIS. "Dia memang seperti anak yang hilang," kata kakeknya. Sejak kecil, Alex sudah terpisah dari ibunya, yang pemadat. Kakek dan neneknyalah yang membesarkan Alex. Dengan sangat cepat, Hamad dan teman-temannya "meracuni" pikiran gadis lugu itu. Alex percaya, semua cerita buruk soal ISIS hanyalah karangan media-media besar.
Tairod Pugh, simpatisan ISIS/Heavy |
Walaupun tak sebanyak di negara-negara Eropa, seperti Prancis dan Inggris, makin banyak anak-anak muda Amerika yang tersirep oleh rayuan para juru propaganda ISIS. Sejak Maret 2014, sudah ada 82 warga Amerika yang diseret ke pengadilan lantaran terlibat dalam ISIS. Sekarang ada lebih dari 900 kasus terkait ISIS yang sedang ditangani oleh Biro Investigasi Federal Amerika (FBI).
Dari ratusan kasus itu, menurut hasil riset Lorenzo Vidino dan Seamus Hughes dari Universitas George Washington, yang baru dirilis pekan lalu, 86 persen adalah laki-laki. Sebagian besar, 62 persen, berumur 15-25 tahun. Termuda berumur 15 tahun dan paling tua, Tairod Pugh, mantan prajurit Angkatan Udara Amerika, 47 tahun. Yang menarik, lebih dari 40 persen simpatisan ISIS yang ditangkap FBI adalah orang-orang yang baru memeluk Islam seperti Alex dan Ariel Bradley.
Ariel dibesarkan di keluarga Kristen dan belajar di rumah di bawah asuhan ibunya. Ketika beranjak remaja, gadis dari Chattanooga, Amerika, itu berontak dan kabur dari rumah. "Seumur hidupnya, Ariel memang selalu mencari kasih sayang," ujar seorang teman. "Ketika aku pertama kali berkenalan dengannya, dia seorang Kristen. Kemudian berubah menjadi sosialis, berganti lagi menjadi ateis, dan sekarang memeluk Islam."
Pada 2011, lewat Internet, Ariel berkenalan dengan seorang muslim keturunan Irak yang tinggal di Swedia. Keduanya menikah dan punya anak. Setelah menikah, sikap Ariel makin tertutup, tambah keras, makin konservatif. Satu setengah tahun lalu, Ariel dan keluarganya meninggalkan Swedia dan berangkat ke Suriah.
Pada pertengahan Juli lalu, saat Muhammad Youssef Abdulazeez menyerbu markas militer di Chattanooga dan membunuh empat prajurit Marinir, Ariel memuji Youssef. "Hari ini aku tidak hanya mendapat hadiah Idul Fitri, tapi juga memperoleh kabar seorang sahabat yang menebarkan ketakutan di hati para kafir di kota kelahiranku," Ariel alias Umm Aminah, menulis di laman Twitter.
Tapi menyimpulkan bahwa anak muda Amerika yang "teperdaya" ISIS merupakan orang-orang yang lugu, dari keluarga berantakan, dan kurang paham Islam, menurut Vidino, juga kurang akurat. Tiga bersaudara Khan tumbuh besar di pinggiran Chicago dan dididik sangat ketat di lingkungan muslim. Ketiganya juga penghafal Al-Quran. Setahun lalu, polisi mencegat mereka di Bandara Internasional O'hare saat hendak terbang ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.
Latar belakang, alasan, dan bagaimana anak-anak muda ini teradikalisasi, menurut Vidino, sangat beragam. Dia menduga, ada alasan ideologi, tapi juga ada alasan pribadi, dalam keputusan mereka bergabung dengan ISIS. "Mereka menemukan solusi atas masalah-masalah mereka, entah nyata atau hanya hasil imajinasi mereka, dalam ISIS," kata Vidino, kepada ABC. "Ini bukan semata fantasi anak-anak. Di sejumlah kasus, mereka sangat serius."
Yang pasti, mereka semua "teracuni" ISIS lewat Internet. Mengutip laporan Dinas Intelijen Dalam Negeri Belanda (AIVD), banyak anak muda muslim yang lahir dan tumbuh besar di negara-negara Barat merasa teralienasi dan frustrasi lantaran lingkungannya. Di Internet, mereka menemukan orang-orang "senasib". "Mereka bertemu dengan komunitasnya dan menemukan tempat untuk menumpahkan semua frustrasi," AIVD menulis.
Akun Twitter milik Ariel Bradley alias Umm Aminah Amriki/Lorenzo Vidino |
Jaringan media sosial, menurut Direktur FBI James Comey, membuat para juru propaganda dan juru rekrut ISIS lebih gampang mengenali orang-orang yang potensial mereka ajak bergabung. Mereka tak perlu susah payah datang ke Amerika. Mereka bisa melakukannya dari depan meja komputer dari Kota Raqqa, Suriah, atau Mosul di Irak.
"Gelombang pesan radikalisasi menyebar jauh lebih cepat daripada yang kita bayangkan beberapa tahun lalu.... Kini organisasi teroris punya akses langsung ke rumah-rumah warga Amerika, sesuatu yang tak pernah mereka dapatkan sebelumnya," kata Comey.












































Tairod Pugh, simpatisan ISIS/Heavy
Akun Twitter milik Ariel Bradley alias Umm Aminah Amriki/Lorenzo Vidino