Sehari-hari, Seifeddine Rezgui Yacoubi alias Abu Yahya al-Qayrawani, 23 tahun, sama sekali tak mirip seorang teroris. Rezgui bekerja paruh waktu di Kafe Ben Hassan di Gaafour, Tunisia.
"Dia sama sekali tak pernah menunjukkan sikap ekstrem atau apa pun. Bahkan dia tak pernah membicarakan soal agama," kata Mohammed, seorang temannya, kepada Guardian. Rezgui punya gelar sarjana elektronika dan sejak Oktober tahun lalu mengambil gelar master di Institut Teknologi dan Sains (ISSAT) di Kota Kairouan.
Dua hari sebelum mengamuk di Resort Rui Imperial Marhaba di Port al-Kantoui, Sousse, Tunisia, pada akhir Juni lalu, Rezgui masih asyik nongkrong bersama teman-temannya di Kairouan, sekitar 60 kilometer dari Sousse. Mereka bergosip soal perempuan, juga berdebat soal Real Madrid dan Club Africa, tim sepak bola favorit Rezgui, sembari menyeruput kopi.
Keesokan harinya, dia berkunjung ke rumah pamannya di Gaafour, kota kecil tak jauh dari Kairouan. Mereka mengobrol santai di kebun rumah sang paman. "Siapa yang pernah menyangka dia akan melakukan tindakan mengerikan seperti itu?" Ali Rezgui, sang paman, tak habis pikir terhadap tindakan brutal keponakannya. "Mungkin dia berubah saat kuliah. Mungkin dia dipengaruhi lewat Internet. Kami tak tahu jawabannya." Rezgui menembak mati 38 turis, sebagian besar wisatawan asing.
Seifeddine Rezgui/Guardian |
Bagaimana seorang insinyur, orang berpendidikan tinggi seperti Rezgui bisa melakukan tindakan brutal dan sulit dinalar seperti itu? Umar Farouk Abdulmutallab, 28 tahun, mestinya sudah punya segala hal di dunia. Dia pintar. Dia seorang insinyur mesin dari kampus top, University College London, Inggris. Ayahnya, Alhaji Umaru Mutallab, salah satu orang paling tajir di Nigeria. Tapi, pada 25 Desember 2009, Umar tertangkap setelah gagal meledakkan pesawat Northwest Airlines tujuan Detroit, Amerika Serikat.
Abdallah Schleifer, profesor di American University di Kairo, pernah berkawan karib dengan Ayman al-Zawahiri, pentolan Al-Qaidah. Dengan nada bangga, Ayman pernah memamerkan kepada Abdallah betapa organisasinya tak pernah kekurangan tenaga segar. Dua ladang subur yang digarap Ayman adalah fakultas kedokteran dan teknik. "Tidakkah kamu terkesan?" kata Ayman kepada Abdallah.
Riset Diego Gambetta, dosen sosiologi di European University Institute, Italia, dan peneliti di Universitas Oxford, Inggris, pada 2008, terhadap 178 teroris yang mencatut agama Islam dari pelbagai negara menemukan 78 orang di antaranya atau 44 persen ternyata bergelar insinyur. Hampir 60 persen di antara mereka lulus dari fakultas teknik, kedokteran, atau sains.
Setiap tahun, Diego terus memperbarui datanya. Pada Maret 2016, Diego akan mempublikasikan bukunya, Engineers of Jihad. Kesimpulan dalam bukunya sama persis dengan hasil penelitian dia pada 2008. Marc Sageman, mantan intel Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA), lama menelusuri sel-sel Al-Qaidah. Dalam bukunya, Understanding Terror Networks, Marc menyimpulkan, anggota Al-Qaidah bukanlah orang-orang tak terdidik. Lebih dari sepertiga anggotanya lulus sarjana. Usamah bin Ladin sendiri seorang insinyur sipil.
ISIS di Raqqa/Reuters |
"Aku tak mengatakan seorang insinyur pasti punya pikiran seperti teroris.... Kami hanya menyimpulkan bahwa seorang insinyur cenderung punya sikap lebih konservatif ketimbang sarjana jurusan lain," kata Diego seperti dikutip Spectrum. Hasil penelitian Opinion Research Corporation di kampus-kampus Amerika bertahun-tahun lalu menyokong kesimpulan Diego. Lebih dari 57 persen mahasiswa teknik mengaku beraliran konservatif, baik dalam hal beragama maupun pilihan politik, tertinggi di antara semua jurusan di kampus-kampus Amerika.
Seorang insinyur, menurut Diego, terbiasa berpikir mengikuti aturan-aturan atau hukum yang kaku. Kombinasi antara cara berpikir dogmatis dan frustrasi terhadap kondisi sosial-ekonomi, Diego menduga, menyebabkan para insinyur ini gampang terseret ke dalam kelompok-kelompok ekstremis, seperti Negara Islam alias ISIS.












































Seifeddine Rezgui/Guardian
ISIS di Raqqa/Reuters