Kisah Pemuda Jailolo: Dulu Panjat Pohon, Kini Menari Keliling Dunia

Jelajah Australia

Kisah Pemuda Jailolo: Dulu Panjat Pohon, Kini Menari Keliling Dunia

Nograhany Widhi K - detikNews
Kamis, 03 Des 2015 10:25 WIB
Foto: Nograhany WK
Adelaide - Beberapa pemuda Jailolo itu dengan percaya diri menari, membuat hentakan bernada dengan kaki telanjang di OzAsia Festival, Adelaide. Mereka adalah anak-anak nelayan di pelosok Jailolo, Maluku Utara, yang gemar menyelam dan naik pohon.

Mereka menghentak-hentakkan kaki mereka, memainkan telapak kaki dan tumit, selama 1 jam dalam tarian berjudul "Cry Jailolo" karya seniman tari Nusantara, Eko Supriyanto, yang dikenal sebagai mantan penari diva dunia Madonna. Setelah 1 jam, keringat memenuhi tubuh mereka yang bertelanjang dada dan hanya memakai celana katun selutut berwarna merah.

(Foto: Nograhany WK)


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Para penonton hening dan menahan nafas selama satu jam itu hingga lampu pertunjukan padam. Sejurus kemudian...plok! plok! plok! Tepuk tangan bertubi-tubi sambil berdiri. Standing ovation!

Itulah yang terjadi di OzAsia Festival yang disaksikan detikcom pada September 2015 lalu di Adelaide, Southern Australia, atas undangan Australia Plus ABC International. Di balik penampilan yang sempurna itu, ada kerja keras para pemuda Jailolo dan kedisiplinan sang koreografer, Eko Supriyanto. Β 

"Saya ke rumah mereka, mereka ini biasa memanjat pohon 60-70 pohon tiap hari, menyelam mencari ikan tanpa alat," kata Eko kala diwawancara detikcom, RCTI dan Australia Plus Indonesia di sela-sela acara.

Eko mencari sendiri pemuda Jailolo untuk menarikan tariannya itu. Dari sekitar 350 pemuda dari Teluk Jailolo, terpilihlah 6 di antaranya.

Eko Supriyanto (Foto: Nograhany WK)


"Saya pilih 6 di antara mereka, SMP-SMA, tak melalui audisi tapi dari kedekatan psikologi yang sangat dekat, untuk tahu dari mana mereka berasal, keluarganya bagaimana, kehidupannya bagaimana, kita pilih 6, satu dari Jakarta yang jadi asisten saya," ungkapnya.

Menurut Eko, sudah beberapa bulan ini mereka keliling beberapa negara untuk mementaskan "Cry Jailolo".

(Foto: Nograhany WK)


"Dengan karya ini sudah memasuki bulan kedua. Kami 3 bulan tur dunia tahun ini. Total ada 28 pementasan dan 11 festival. Agustus-Oktober mulai Darwin, Hamburg di festival tari kontemporer bergengsi, Swiss, Groningen-Belanda, kemudian break 10 hari. September ke Jepang, Adelaide, Antwerp-Belgia, Frankfurt untuk opening Frankfurt Book Fair, berakhir di Esplanade Singapura acara dance festival ulang tahun Esplanade bulan Oktober," papar Eko.

Eko memberdayakan para pemuda dari pelosok Jailolo yang memiliki beragam latar belakang keluarga. Ada yang mulanya tak disetujui orangtuanya karena mendamba anaknya masuk militer, ada pemuda yang berasal dari area konflik, dan sebagian dari keluarga kurang beruntung.

Yang jelas, mereka dipilih Eko bukan dari penari profesional. Namun, kini mereka keliling dunia untuk menari dengan profesional. Bahkan, Eko menjadi orangtua asuh beberapa di antaranya, membiayai mereka yang berniat melanjutkan ke sekolah seni. Salah satunya adalah Greatsia Yobel Younga (20). Β 

Greatsia Yobel Younga (Foto: Nograhany WK)


"Awalnya dari kecil nggak suka tari sama sekali, sejak SMA kelas 2 ada event di Jailolo, Festival Teluk Jailolo. Tiga tahun terakhir Mas Eko yang dipanggil sebagai koreografer. Awalnya ikut mau cari teman main-main, tujuan utamanya cari makan. Latihan kaya gitu kan dapat makan, dapat cemilan," tutur Greatsia sambil tersenyum-senyum.

Namun, saat dia datang mengikuti audisi tari itu, ternyata Eko memilih pemuda-pemuda berperawakan tinggi. Dirinya termasuk yang tersangkut dalam radar Eko.

"Saya dipilih sebagai tokoh utama sekitar tahun 2012-2013. Sejak itu ketertarikan pada dunia tari muncul. Setelah itu dipilih 4 orang ke Malaysia termasuk saya. Di Malaysia saya ambil keputusan untuk ambil dunia tari," tutur dia.

Saat itu, Greatsia sangat senang karena bisa memperkenalkan tari dari kampungnya, tarian Soya-soya dan Legu Salai. Tarian "Cry Jailolo" ini memang diciptakan Eko terinspirasi dari kedua tarian Maluku itu.



"Awalnya bagian daerah Ternate atau Jailolo saja yang tahu. Sekarang bisa bawa Legu Salai sama Soya-soya ke dunia," imbuh Greatsia.

Tantangan menjadi salah satu penari Cry Jailolo, menurut Greatsia, adalah latihan yang cukup berat. Eko, dinilainya sangat berdisiplin dalam melatihnya dan rekan-rekannya.

"Kalau pas menari lagi tur sekarang, ya tergantung cuaca. Kalau lagi dingin tantangan ya di situ. Di Ternate kan panas, nggak tahan dingin. Kalau pas latihan sama Mas Eko berat banget, sampe muntah-muntah gitu. Saya dan Nandito (rekannya) sampai sakit nggak bisa bangun, langsung mau pingsan," ungkap Greatsia tanpa sungkan.

Namun Greatsia kini memetik buahnya bersusah payah berlatih menari dengan Eko. Dia bisa melanglang buana keluar dari kampungnya.

"Keluar negeri berkat tari. Malaysia, Jepang, Jerman, Belanda, Prancis, Singapura, Australia, ke Swiss, kemudian Belgia dan Jerman," rapal Greatsia mengingat-ingat negara yang sudah dijelajahinya.

Merantau jauh dari kampung bahkan negaranya juga memberikan pelajaran tersendiri bagi Greatsia. Pelajaran tentang persahabatan, meliputi kepercayaan dan pengertian.

(Foto: Nograhany WK)


"Pelajaran berharga bagi saya, butuh pengertian satu sama lain, karena di luar berbulan-bulan, bersama mereka-mereka saja. Kalau nggak saling mengerti dan menghargai ya susah. Senang, ingin bisa pergi ke mana-mana lagi berkat tari. Pengin lebih dapat ilmu di dunia tari," tutur pemuda yang kini duduk di bangku semester 3 Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta jurusan seni tari ini.

Pesan Lingkungan dan Promosi Wisata

Eko sendiri menciptakan tarian "Cry Jailolo" ini terinspirasi dari schooling fish alias ikan yang berenang berkelompok kala menyelam di Teluk Jailolo. Pesan lingkungan tentang kerusakan terumbu karang juga dituangkan di sini oleh Eko.

"Tentang jeritan ikan yang kehilangan rumahnya tapi juga saat yang sama optimisme anak-anak di Halmahera Barat, Jailolo, terpencil jauh dari keramaian mana pun, tapi punya optimisme yang luar biasa, daerah konflik, tapi ambisi dengan meraih cita-cita mereka," tutur Eko.

Eko sendiri membuat tarian ini awalnya diundang oleh Bupati Halmahera Barat Namto Hui Roba untuk membuat Festival Teluk Jailolo. Maka riset untuk mencipta tari "Cry Jailolo" pun dilakukannya sejak tahun 2012, tiga tahun lalu. Dan proyek tari itu dieksekusi pada 2014, meliputi audisi penari hingga tahun 2015, Eko dan para pemuda Jailolo itu sudah keliling dunia membawakannya.

"Saya lebih pada jelaskan ke Pak Namto dan Indonesia, saya buat silent project tourism, saya ingin kenalkan Jailolo, Halmahera Barat, Maluku, KTI selama ini kita tidak pernah dengar, tidak pernah tahu. Yang tahu selama ini, kalau dunia tari hanya Jawa, Bali, Sumatera yang sangat kuat oleh dominasi itu aja. Membuka satu wacana kebudayaan baru di Indonesia Timur di Maluku Utara, di Jailolo, bahwa mereka punya kesenian yang luar biasa, ragam budaya musik tari kuliner dan alam yang patut juga kita kenalkan di dunia internasional," tuturnya.

Sementara Bupati Halmahera Barat Namto Hui Roba mengaku sangat bangga bahwa para pemuda di daerahnya bisa keliling dunia mempromosikan Jailolo dan pariwisatanya.

Bupati Halmahera Barat Namto Hui Roba (Foto: Nograhany WK)


"Bangga, senang, melihat anak-anak yang menari, mereka bukan penari, seperti yang lain. Mereka anak-anak petani, nelayan yang dikenalkan saya sama Mas Eko lewat FTJ (Festival Teluk Jailolo), yang kami adakan tiap bulan Mei tahun berjalan. Tahun ini sudah 7 kali melaksanakan itu. Makanya sangat support sekali bersemangat mempromosikan Cry Jailolo karena di situ murni dari Jailolo dan anak-anaknya dari Jailolo," jelas dia ditemui di sela-sela OzAsia Festival.

Karena "Cry Jailolo" pentas di berbagai belahan dunia, Namto mengakui ada dampaknya pada Jailolo.

"Pertama, Jailolo dikenal di mancanegara. Kedua, anak-anak ini nggak tahu mimpi apa mereka bisa keliling dunia," tuturnya.

Baca terus fokusΒ Jelajah Australia, dan ikutiΒ Hidden Quiz-nya!
Halaman 2 dari 1
(nwk/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads