Selandia Baru Vs Kegendutan

Selandia Baru Vs Kegendutan

Sapto Pradityo - detikNews
Jumat, 27 Nov 2015 19:07 WIB
Selandia Baru Vs Kegendutan
Foto: thinkstock
Auckland -

Dua tahun lalu, Albert Buitenhuis 'diusir' dari Selandia Baru. Pemerintah Selandia Baru memerintahkan juru masak alias chef yang bekerja di Kota Christchurch itu segera berkemas dan pulang ke Afrika Selatan. Albert bukan seorang bandit. "Dosa"-nya hanya satu: kelebihan berat badan.

Selama enam tahun tinggal di Christchurch, Albert memangkas berat badannya sebanyak 30 kilogram. Tapi, dengan berat 130 kilogram, Albert tetap dianggap oleh pemerintah Selandia Baru tak memenuhi standar hidup sehat di Negeri Kiwi. Padahal sebelumnya, menurut istrinya, Marthie, berat badan Albert tak pernah jadi persoalan kala mereka memperpanjang visa.

"Mereka tak pernah menyinggung soal berat badan Albert, padahal saat itu badannya lebih berat," kata Marthie kepada BBC. Menurut kantor imigrasi Selandia Baru, mereka menolak perpanjangan visa Albert lantaran khawatir harus menanggung risiko kesehatannya.

Selandia Baru memang pantas cemas terhadap warganya yang doyan makan tapi kurang bergerak. Pada 1980, laki-laki Selandia yang kegendutan baru 13 persen, tapi 33 tahun kemudian angka itu berlipat dua menjadi 28 persen. Menurut survei Universitas Washington yang dipublikasikan di jurnal Lancet, ada 980 ribu penduduk dewasa Selandia yang kelewat gendut.

Angka itu bisa terus menggelembung jika 2,2 juta penduduk yang kelebihan berat badan "naik status" menjadi kegendutan. Apalagi jumlah anak-anak Selandia yang kegendutan dan kelebihan berat juga terus menggelembung. Dua tahun lalu saja, hampir sepertiga anak-anak Selandia punya berat badan di atas normal. Di antara negara-negara maju, Selandia berada di urutan ketiga negara dengan penduduk paling gendut.

Rupa-rupa cara dilakukan untuk memaksa warga Selandia makan lebih sehat, salah satunya dengan menerapkan pajak lebih besar pada makanan tinggi gula dan lemak. Tapi survei Kementerian Kesehatan Selandia setahun lalu tak menunjukkan rupa-rupa kebijakan itu bisa mengurangi nafsu makan warganya.

Thinkstock


"Dalam hal tingkat harapan hidup, Selandia sangat bagus, tapi tidak dalam hal kegendutan," kata Tony Blakely, peneliti dari Universitas Otago, kepada Stuff. Wakil pemimpin blok oposisi di parlemen Selandia, Annette King, berjanji akan terus menekan Kementerian Kesehatan Selandia untuk mengejar target penurunan angka kegendutan, terutama pada anak-anak. "Kami akan meminta pemerintah memberikan target waktu yang jelas bagi industri untuk menurunkan kadar gula pada makanan," kata Annette seperti dikutip Radio of New Zealand.


Di tengah perang melawan kegendutan, Selandia kehilangan salah satu tokohnya. Robyn Toomath, dokter ahli penyakit diabetes di Rumah Sakit Auckland dan pendiri Fight for Obesity Epidemic, "mengibarkan bendera putih". Dia menyerah. Setelah lebih dari 14 tahun melawan kegendutan, Dr Robyn merasa tak ada kemajuan, tak ada satu target pun yang tercapai.

Hampir setiap hari, menurut Dr Robyn, dia menyaksikan pasien yang kegendutan. "Setiap aku mengunjungi bangsal perawatan, aku selalu melihat pasien yang kegemukan dan hasilnya, punya masalah kesehatan. Kami pun terpaksa memesan ranjang baru yang lebih besar lagi," kata Robyn kepada Guardian.

Kampanye-kampanye yang dia gelar bersama teman-temannya untuk memaksa pemerintah menetapkan pajak lebih tinggi pada junk food dan membatasi penjualan serta iklan makanan-makanan tinggi lemak dan gula itu tak banyak memberi hasil.

Thinkstock

"Kita sekarang hidup di tengah kepungan makanan-makanan tinggi kalori tapi rendah nutrisi," kata Robyn. Menurut dia, anak-anaklah yang jadi korban dari lembeknya kebijakan pemerintah terhadap makanan-makanan "sampah" itu. Mereka yang kegendutan bukan cuma punya masalah kesehatan, tapi sering punya masalah sosial. "Anak-anak yang kegendutan itu sering mengalami stigmatisasi."

Halaman 2 dari 2
(sap/hbb)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads