Terjepit Fobia Islam

Teror Berdarah di Paris

Terjepit Fobia Islam

Sapto Pradityo - detikNews
Senin, 16 Nov 2015 13:50 WIB
Terjepit Fobia Islam
Foto: twitter
Paris -

Setiap kali melayangkan surat lamaran pekerjaan, Fanta France Ba selalu menghindar menggunakan nama pertamanya, yang terdengar asing di telinga orang Prancis. Supaya terdengar seperti orang Prancis asliβ€”dia warga Prancis keturunan Senegalβ€”Fanta selalu memasang nama France Bas.

Tapi sampai sekarang Fanta tetap saja belum mendapat pekerjaan. "Kami melakukan apa pun supaya diterima di Prancis, tapi tetap saja kami tak disambut dengan tangan terbuka," kata Fanta, kepada New Yorker, Agustus lalu. Lahir, makan, dan tumbuh besar di Prancis tak jadi jaminan bagi Fanta bisa menjadi seorang Prancis "seratus persen".

Berkulit gelap dan beragama Islam, Fanta sering merasa menjadi orang asing di negerinya. Rupa-rupa cerita buruk soal teroris yang mengatasnamakan Islam membuat hidupnya makin sulit. Setiap kali tersiar kabar serangan teroris di Prancis, Fanta hanya bisa berdoa. "Semoga pelakunya bukan keturunan Arab, kulit gelap, atau muslim," kata Fanta.

Saat Kouachi bersaudara, Cherif dan Said Kouachi, menyerbu kantor koran mingguan Charlie Hebdo dan menembak mati 12 orang pada 7 Januari awal tahun lalu, Fanta pilih libur menonton televisi dan absen membuka Facebook. Dia sudah terlalu lelah membaca kabar buruk soal para teroris yang mencatut nama Islam. "Harus terus mengatakan, 'Aku seorang muslim dan aku mengutuk serangan teroris itu,' sudah terlalu berat untukku," Fanta mengeluh.

Ada lebih dari 6 juta warga muslim di Prancis, terbesar di antara semua negara Eropa. Sebagian besar dari mereka datang dari Aljazair, Tunisia, dan Maroko. Mereka mulai berdatangan ke Prancis seusai Perang Dunia II. Memang ada orang-orang seperti Zinedine Yazid Zidane yang menjadi "pahlawan" Prancis. Tapi rata-rata, tanpa ulah Kouachi bersaudara pun, hidup keturunan imigran muslim di Prancis sulit.

Sebagian besar muslim Prancis tinggal di banlieue, daerah pinggiran kota yang padat dan kurang terawat. Tak ada angka statistik yang pasti berapa tingkat pengangguran di komunitas muslimβ€”survei berbasis agama seperti ini dilarang di Prancis. The Week menulis tingkat pengangguran di banlieue mencapai 20 persen, dua kali lipat rata-rata angka pengangguran di Prancis, dan 40 persen pemuda muslim berumur 15-24 tahun tak punya pekerjaan tetap.

Twitter


Tak cuma sulit mendapatkan pekerjaan, mereka juga mengalami rupa-rupa diskriminasi. "Orang Prancis senang ada banlieue untuk mengurung orang-orang yang tak mau mereka lihat.... Jika kami tak tampak di depan hidung mereka, itu lebih baik," kata Djib, warga Clichy-sous-Bois, sinis sekaligus frustrasi.

Survei harian Le Monde pada akhir 2013 menunjukkan 74 persen warga Prancis menganggap ajaran Islam tak toleran dan jadi masalah. Pada Januari 2015, Le Monde kembali menggelar survei. Hasilnya, masih ada 51 persen warga Prancis yang berpendapat bahwa Islam tak cocok hidup di Prancis. Angka itu jauh lebih tinggi daripada penolakan terhadap Yahudi, hanya 19 persen, dan penolakan terhadap ajaran Katolik, 9 persen.


Serangan Cherif dan Said Kouachi ke kantor Charlie Hebdo membuat muslim di Prancis kena getahnya. Dewan Muslim Prancis mencatat, selama tiga bulan setelah kejadian itu, terjadi 222 kali serangan terhadap warga muslim atau melompat lima kali lipat dari angka tahun sebelumnya.

"Seperti yang dialami Yahudi 50 tahun lalu, sekarang muslim menjadi kambing hitam di Prancis dan Eropa," kata Elsa Ray, juru bicara Collective Against Islamophobia, kepada Al-Jazeera. Widad Kefti, wartawan keturunan muslim, mengibaratkan mereka seperti anak-anak yang kelahirannya tak dikehendaki sang ayah, yakni Prancis. "Mereka sama sekali tak bisa terintegrasi dalam masyarakat Prancis," kata Soeren Kern dari Gatestone Institute.

Tak mendapat kasih sayang dari sang "ayah", pemuda-pemuda ini mencari kasih sayang di tempat lain. "Islam seperti menjadi cahaya, perhatian, dan kasih sayang, yang tak pernah diberikan oleh Republik Prancis," kata J.P., seorang muslim dari banlieue di pinggiran Paris. Yang jadi soal, ada sebagian pemuda itu yang melihat "Islam" pada Negara Islam atau ISIS. Diperkirakan, ada lebih dari 1.500 pemuda Prancis yang ikut berperang bersama ISIS di Irak dan Suriah.

Belum setahun serangan terhadap kantor Charlie Hebdo, Paris kembali geger oleh serangan teror secara simultan di sejumlah tempat di kota itu. Lebih dari 130 orang tewas. Salah satu pelaku yang telah teridentifikasi adalah Ismael Omar Mostefai, dari Chartres, sekitar 75 kilometer arah barat daya dari Paris.

Reuters


Jean-Pierre Gorges, Wali Kota Chartres, menduga Mostefai terpengaruh khotbah di masjid di Jalan Paradise, Kota Luce. "Tuduhan itu salah," kata Karim Benaya, pengurus masjid yang dituding Wali Kota Gorges, seperti dikutip CNN. Dia mengaku tak kenal Mostefai. Bernard Cazeneuve, Menteri Dalam Negeri Prancis, mengusulkan masjid-masjid yang menyebarkan kebencian ditutup dan sang imam atau pengkhotbahnya dipulangkan ke negara asal. Sejak 2012, sudah ada 40 ulama yang diusir dari Prancis.

Tinggal Asma Jaber, mahasiswi keturunan Aljazair, dan muslim lain seperti Muhammad al-Khaoua, yang cemas akan kemungkinan pembalasan warga Prancis terhadap mereka. "Sangat beralasan jika kami ketakutan," kata Al-Khaoua, 24 tahun. Di sejumlah tempat di Paris, harian Le Parisien menulis, muncul coretan-coretan seperti "Death to Muslims". "Kejadian ini hanya akan mengotori Islam dan citra muslim," kata Soufiane, anggota jemaah Masjid Besar Paris, kepada Reuters.

Halaman 2 dari 2
(sap/iy)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads