"50.000 ekor untuk sapi potong isunya dan ekspornya harus masuk melalui Bulog. Dan saya harus menjalankan proses ekspor melalui rantai suplai, rantai suplai yang sangat terbatas. 50.000 ekor itu jumlah yang kecil untuk kapasitasnya, rantai suplai tak bisa bekerja dengan maksimal. Jadi sebagai eksportir, kami tak bisa berpartisipasi," kata GM ASEAN Wellard Rural Exports Pty Ltd, Bernie Brosnan.
Bernie ditanya saat ditemui 2 media Indonesia, termasuk detikcom, atas undanganΒ Australia Plus ABC International di export yard atau lapangan di mana ternak dikumpulkan sebelum diekspor milik Wellard, 50 km di selatan Darwin, Northern Territory, Australia pada September 2015 lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(Foto: Nograhany WK) |
"Dan sayangnya jika pun kami berpartisipasi, sapi-sapinya sudah kami tempatkan untuk memenuhi permintaan Vietnam sebanyak 200 ribu dalam 12 bulan ke depan. Dan Indonesia juga harus bersaing dengan industri daging di Australia, rumah potong hewan di Australia dalam suplainya," imbuh dia.
Vietnam adalah pasar alternatif karena sapi yang sedianya sudah diperuntukkan untuk pasar Indonesia, sekitar 200 ribu ekor sapi bakalan, tak jadi dikirimkan. Karena, alih-alih mengimpor sapi bakalan, Indonesia malah meminta sapi potong 50.000 ekor. Maka, sebagai eksportir, dia harus memutar otak untuk menjual sapi-sapi bakalan itu.
"Kami telah menemukan pasar alternatif, ada kerugian, karena ada short notice time (pemberitahuan mendadak), tapi kami merencanakan opsi lain ke Vietnam, melayani pengapalan ke bagian lain di dunia, dari Amerika sampai Timur Tengah. Itu yang eksporter harus lakukan," tuturnya.
Indonesia, menurutnya, menginginkan 50.000 sapi potong on the spot alias saat itu juga. Walaupun pada akhirnya impor sapi siap potong sebanyak 50.000 ekor oleh Perum Bulog hanya sedikit yang direalisasikan.
"Waktunya tak bisa lebih buruk lagi. Karena harganya sudah tinggi. Jadi bagi eksportir yang bersedia menyediakan 50.000 sapi potong itu tentunya sangat bekerja keras sekali. Dan suplainya sangat susah," katanya. Β
Selain itu, perusahaan eksportir ternak sudah memutuskan untuk memutar-mutar kapalnya ke seluruh dunia untuk menghindari biaya sandar di pelabuhan yang sangat mahal per harinya, US$ 45 ribu (sekitar Rp603 juta-red). Perusahaan eksportir yang mayoritas mengirimkan sapi ke Indonesia itu harus memutar otak untuk memangkas kerugian (cut loss). Wellard, dilansir dari situsnya, memiliki 4 kapal pengangkut ternak.
Kapal pengangkut ternak Australia (Foto: Nograhany WK) |
"Sangat sulit bagi pemerintah Indonesia, karena kapalnya kami putar-putar di seluruh dunia. Indonesia minta "Kami ingin ternaknya sekarang". Itu berarti kami harus menarik kapal-kapal yang sedang keliling di seluruh dunia ke Australia, itu bisa makan waktu berbulan-bulan," tuturnya.
Belum lagi, dari sisi perizinan, sejak diterima order, eksportir harus mengurus izin ekspor ke pemerintah Australia yang bisa memakan waktu 10 hari. Belum lagi menghubungi peternak untuk membuat kontrak pembelian, pemeriksaan kesehatan untuk hewan ternak, waktu pengapalan dan sebagainya.
"Waktu dari order sampai pengiriman bisa sampai 30 hari," ungkap Bernie.
Itu dari sisi eksportir di Australia yang bisa berdampak pada peternak. Dari sisi Indonesia, yang terkena dampak, menurut Bernie, adalah industri feedlot atau penggemukan sapi.
"Jadi di pasar basah harga naik karena tak cukup (tersedia daging), di feedlot juga sapi-sapi berkurang dari 100-90-80-70-60-50 persen. Tapi masih mempekerjakan jumlah karyawan yang sama, masih ada aktivitas penggemukan sapi, tapi jumlah sapi berkurang," jelas dia.
Kondisi rantai suplai yang seperti ini berakibat harga daging sapi di Indonesia terkerek naik.Β Jadi tak ada yang menang? "Ya seharusnya win-win, tapi ini, no win at all", jawab Bernie.
Jadi apa yang harus dilakukan Indonesia?
Baca terus fokusΒ Jelajah Australia, dan ikutiΒ Hidden Quiz-nya!
Halaman 2 dari 1












































(Foto: Nograhany WK)
Kapal pengangkut ternak Australia (Foto: Nograhany WK)